Rabu, 01 Februari 2012

Membaca Dan Menulis: Makan Dan Buang Air


Aku sudah terjerumus dalam lumpur kejumudan, menikmati irama kematian bakat, padahal sudah bersusah payah kuasah sedari remaja. Pena yang biasa kugunakan sebagai samurai  untuk merenggut hati pujaan kehabisan tinta. Padahal ada banyak jejak langkah bahkan air mata dan tawa belum kuabadikan dalam ukiran kata. Aku mati suri, oh Tuhan hidupkan aku kembali..

Beberapa hari yang lalu aku menyodorkan sebuah tulisan lepas yang berserakan di Note Facebook kepada seorang teman di Jakarta. Setelah membaca satu judul note kemudian dia komentar, tapi bukan komentar di note melainkan di kotak masuk. “Jujur, saya kira tulisan kamu sewaktu aliyah lebih bagus, ber.!”Saya shok mendengar komentarnya dan terbangun dari tidur panjang secara tiba-tiba. Sadar ketertinggalan dari teman-teman yang lain, sadar justru karena saya sedang melangkah kebelakang, bukan seperti orang kebanyakan melangkah kedepan. Di saat tulisan teman-teman seangkatan sudah mulai dibaca khalayak melalui Media Nasional seabreg Harian Pagi, Bulletin, Majalah Bulanan dan sebagainya. Tulisan merekapun beragam. Mulai dari Essay, Opini, Cerita Pendek bahkan Puisi. Di waktu yang sama, teman seangkatan mereka yang berada nun di seberang lautan, sedang belajar di tempat sekian banyak ulama besar lahir dan berkembang, tempat lahir para Nabi, tempat Risalah diturunkan dan disebarkan, Allah sang maha suci nan luhur pernah berfirman mengenai tempat ini, “Masuklah Mesir niscaya segala yang kamu butuhkan akan kamu dapati”. Tapi sayang, teman mereka yang orang udik itu, malah sibuk menghangatkan diri di musim dingin dan mendinginkan diri di musim panas. Celakanya ia bersemayam di tempat yang sama, yang di Indonesia pun dengan mudah didapat tanpa harus berkelana ke Luar Negeri, yaitu kasur. Alhasil, tulisan yang ia telurkan tak lebih dari coretan kasar yang menggelikan. Ditinjau dari disiplin apapun, jauh dari kata mumpuni. Apalagi jika dipaksakan bersaing.

Sewaktu masih duduk di sekolah menengah, teman-teman punya anekdot yang menurut saya mencerahkan; “membaca buku ibarat makan, sedangkan menulis adalah buang air”, artinya, dapat dikatakan sehat jika makan dan buang air teratur. Andai kata makan terus-menerus tapi sebaliknya tidak buang air, dapat dipastikan ide-ide yang tak tersalurkan berserakan menunggu untuk keluar. Begitupun jika buang air terus menerus tanpa makan yang teratur, tidak jauh berbeda dari terserang diare, ide yang dikeluarkan jauh dari kata mumpuni.

Menginjak tahun ke dua di Kairo, saya menyadari rasa lapar itu, lapar terhadap bacaan berbahasa Indonesia. Tidak sulit sbenarnya menemukan bacaan Indonesia, bisa dengan mudah ditemukan situs online. Tapi kisana tau sendiri jika online sulit sekali membaca selain status dan komentar. Serba salah jadinya, bacaan Indonesia sudah lama ditinggalkan sebaliknya bacaan Arab belum juga tersentuh. Tapi sebenarnya kalaupun kebiasaan membaca arab sudah ada, bacaan Indonesia masih sangat penting untuk teman yang biasa menulis. Sebab kebiasaan mahasiswa di kairo adalah mengadakan diskusi-diskusi, forum ilmiyah, kelompok menulis dan banyak lagi, di perkumpulan ini lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia sebagai media komunikasi utama, terutama dalam tulisan. Sangat sedikit mahasiswa yang menulis dengan bahasa arab dan inggris. Hal ini lebih disebabkan keterikatan kuat dengan tanah air. Barangkali jika mau bersombong ria, mahasiswa Indonesia di Kairo lebih dominan dalam tulisan dibanding mahasiswa Indonesia di seantero Timur Tengah lainnya. Tidak bermaksud meremehkan daya saing mahasiswa timur tengah non Kairo, mereka tentu memiliki kualifikasi lain yang tidak dimiliki mahasiswa Kairo. Namun paling tidak, suatu kegembiraan, bahwa mahasiswa kairo akan tampil mewakili lainnya dalam bidang ini, ditengah pesatnya pesimistis alumni eropa melihat daya saing alumni timur tengah. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa alumni Timur-Tengah lebih banyak berperan sebagai guru kampungan disbanding alumni eropa yang mengendalikan masyarakat perkotaan. Walaupun isu ini tidak menjadi tolak ukur kualitas masing-masing.

Untuk melahirkan tulisan fiksi maupun non fiksi berbahasa Indonesia, tentu menuntut saya untuk membaca banyak karya berbahasa Indonesia lebih banyak. Sebab bacaan, walaupun tidak banyak menentukan bobot tulisan secara isi, namun akan berpengaruh besar terhadap gaya bahasa. Ilmu apa saja dari bahasa apapun akan sulit ditranspormasikan kedalam bahasa ibu jika penulis belum menguasai bahasa ibu dengan baik dan benar. Dalam menulis, kaidah ilmiyah ataupun teori jurnalistik memang menentukan bobot dan kelayakan sebuah karya tulis apapun. Namun disadari maupun tidak, gaya bahasa penulis tak kalah memberikan kesan dan daya tarik tersendiri sehingga kemungkinan pembaca akan terkesan sangat terbuka luas.

Seringkali saya menyadari, bahwa cara saya berdiskusi, atau gaya bahasa tulisan saya akan terus mati suri hingga saya membaca banyak tulisan bahasa Indonesia. Tidak sedikit saya mengenal pelajar maupun guru yang lebih dari kata mumpuni dalam ilmu agama, tapi tak henti-hentinya mencaci tulisan kaum liberal di media massa top dalam negeri sedangkan dia tak sekalipun menulis untuk media massa, jikapun pernah mengirimkan tapi toh tak pernah dimuat, jikapun pernah dimuat, itupun media kacangan yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai media top. Akhirnya hanya mengoceh dengan mengeluarkan hafalan karya ulama salaf yang ia kuasai di beranda facebook. Biasanya manusia seperti ini termasuk dalam spesies kampungan yang hanya melakukan kodivikasi pemahaman ulama salaf tanpa sedikitpun berusaha untuk mengevaluasi, lalu menghindarkan diri sejauh mungkin dari sikap kritis. selanjutnya mencaci siapa saja yang berusaha menganalisa kembali pemikiran ulama salaf dengan tuduhan menuhankan akal dan sebagainya.

Menguasai gaya penuturan dan tulisan dengan bahasa ibu adalah suatu keharusan, sebab sejauh apapun saya berkelana, saya senantiasa mengemban tanggung jawab untuk mencerdaskan bangsa. Kitab berbahasa arab cukuplah menjadi referensi. Walaupun kemungkinan saya akan menulis dalam bahasa arab tidak tertutup.

Kesimpulannya, membaca tapi tidak menulis adalah kerugian besar, menulis tapi tidak membaca adalah paradoks.

Kamis, 26 Januari 2012

Sarung dan Jubah



Aku ingin merasakan Indonesia pada Idul Adha kali ini. Meski kaki tidak berpijak di tanah surga  Indonesia, namun paling tidak bisa mengingatkan akan  kampung halaman. Inisiatif beberapa teman Bu’ust untuk membalut tubuh kami  dengan busana muslim Indonesia; paduan antara sarung dan batik. Cukup brilliant. Sangat Indonesia. Sedikit harapan agar kerinduan akan Kampung Nan Jauh Di Mato dapat terobati.
Suatu fenomena wajar bagi mahasiswa kere berotak bebal seperti saya, merasa “cepat pulang” adalah kata-kata di awang-awang, jauh. Jika sebagian mahasiswa kere berotak encer dapat menyelesaikan studi dengan cepat, cepat pula bersua dengan kampung halaman. Tak jauh berbeda dengan mahasiswa berotak bebal namun berdompet tebal, bisa lebih cepat lagi, bahkan berkali-kali pulang. Nah saya, kedua nikmat itu terasa jauh. Kalau dipaksakan dengan bahasa halus akan terdengar “belum diberikan”.

Aku lebih bersemangat kali ini, suara takbiran terdengar lantang namun lurus. Tidak seperti lantunan takbir di Indonesia yang berirama khas, di Mesir ternyata kumandang takbir hanya dibawakan datar, seperti air sungai. Tidak ada lekukan-lekukan nada syahdu, membosankan kongkritnya. Namun tidak mengurangi semangatku, karena hari ini Hari Raya. Hari besar Umat Islam.
Kalau di dunia anak-anak, hari ini identik dengan ‘pakaian baru’, lain hal bagi remaja yang identik dengan hari “Jalan-Jalan”, orang tua mengidentikkan hari ini dengan hari “silaturrohim”, walaupun sebenarnya dalam prakteknya bisa saja tertukar bahkan akumulatif. Misalnya, selain anak-anak, remaja dan orang dewasa juga pengen punya baju baru saat lebaran, atau barangkali orang dewasa jalan-jalan dan remaja silaturrohim, atau bisa jadi  orang dewasa saat lebaran mengenakan pakaian baru, jalan-jalan dan silaturrohim.

Pagi ini kami akan Shalat ‘Ied di Masjid Ar-Rahman-Ar-Rahim nan megah. Mengenakan sarung  khas Indonesia yang rapi plus batik dengan model dan warna yang beragam, kami menuju masjid yang agak jauh dari asrama. Berjalan agak tergopoh-gopoh karena takut tak kebagian tempat. Teman-teman se-asrama yang melihat kami berbusana seragam tersenyum simpul. Mereka sudah paham, kami orang Indonesia, ini budaya kami. Berbalik seratus delapan puluh derajat respon berubah setelah melewati gerbang asrama. Beberapa orang Mesir yang melihat kami dari mobil tertawa, bahkan ada yang terbahak-bahak. Respon negatrif ini bertalu-talu hingga kami memasuki masjid. Masjid sudah hampir penuh, kami memasuki masjid, jama’ah menoleh kearah kami. Sekali lagi tersenyum, anak-anak tertawa, bukan senyum menghargai, bukan senyum kagum. Merasa aneh barangkali.

Sarung, di Indonesia dan di Mesir, kemungkinan Arab seluruhnya, mempunyai dua arti yang jauh berbeda. Jika di Indonesia Sarung adalah busana Santri, busana orang Alim, busana sopan yang dikenakan ketika Shalat, busana menghadap Tuhan. Mayoritas pesantren di Indonesia, tradisional kah, modern kah, mengenakan sarung ketika shalat. Kurang tau kalau pesantren impor.
Makna yang jauh berbeda jika sarung dikenakan orang Mesir. Mereka memakai sarung hanya jika ingin “j***’”.  Lantaran budaya ini sudah mengakar dalam tempurung kepala mereka, lantas jika melihat orang lain memakai sarung, tak peduli orang asing, mereka jadi bernafsu, nafsu ingin menertawakan. Tak peduli barangkali ada makna berbeda bagi orang lain. Sebuah ketimpangan. Maka wajarkah jika di Indonesia, orang memakai Jubah dianggap orang Alim, Soleh, bahkan dianggap sakral. Selanjutnya jika mengenakan jubah mencerminkan jiwa yang Soleh, lantas semua orang takdzim.

Walaupun jubah sudah jelas budaya Arab, namun karena Islam lahir dan berkembang pada fase awal di tanah Arab, lantas semua yang berbau Arab juga juga mengalami islamisasi. Ya jubah contohnya. Padahal jubah adalah budaya Arab, pakaian tradisional. Saksikanlah anak-anak muda Mesir yang jauh dari sentuhan modernisasi, sehari-hari mengenakan jubah bukan lantaran mereka soleh, tapi itu pakaian mereka. Amu-amu dengan seabreg profesi unik sebagai contoh tambahan.  Wajar jika di kalangan pemikir Islam progresif Indonesia bab arabisasi islam banyak ditentang, ini tidak adil.
Perbedaan sarung dan jubah tidak tergolong sederhana, tidak sesederhana masalah teh hangat dan teh dingin. Banyak orang yang tampak seperti kehilangan induk semang, kehilangan budaya sendiri. Barangkali mereka ingin menyerupai bangsa lain lalu melupakan budaya bangsa sendiri. Tapi bahkan akhirnya mereka tidak mendapat kedua-duanya. Bayangkan penampilannya: memakai jubah cantung, terompa kayu, peci putih, brewok, kulit sawo matang, postur tubuh petet, mata kecil, hidung pesek. Bingung, sketsa bangsa mana ini.  

Sungguh jauh ketimpangan ini. Di Indonesia jika kita melihat orang mengenakan jubah, terlihat sangat islami. Di sisi lain, jika kita memakai sarung di Mesir, layaknya orang Indonesia yang beragama Islam, ditertawakan. Saya kira jika Rosulullah, para Sahabat, serta para Ulama memakai jubah, ini hanya semata-mata karena mereka orang Arab, bukan karena mereka orang Islam. Jika beranggapan kedua-duanya, sama saja mengebiri budaya sendiri. Saya kira, orang Indonesia yang beragama Hindu lebih cerdas dan berani, bahkan mereka dapat beragama tanpa menghapus jejak budaya, mencintai budaya tanpa melepas keimanan.  


Jumat, 20 Januari 2012

Wacana Negara Islam; Fakta sejarah dan tantangan kontemporer


 
Prolog

Tepat pada tanggal 3 maret 1924 Khilafah Islamiyah dihapuskan oleh konstitusi Turki. Sejak saat itu sampai sekarang dapat dikatakan hanya Iran yang menganut sistem Negara Islam secara konstitusi. Walaupun banyak Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun secara konstitusi menganut sistem monarki atau republik. Apa sebenarnya yang ditakutkan dengan sistem Khilafah Islamiyah? Apakah wacana Negara Islam tidak lagi relevan saat ini? Bukankah Islam itu menebar kasih sayang untuk semua manusia. Bahkan Islam relevan sepanjang waktu dan tempat?

Arab Saudi, adalah titik temu semua umat Islam dari seluruh dunia dalam ibadah haji. negara ini juga titik awal kelahiran dan perkembangan Islam. Nyatanya Negara ini menganut sistem Monarki dalam praktek kenegaraan. Mengapa Negara yang menjadi kiblat bagi seluruh umat Islam dunia ini tidak tertarik untuk mendirikan Negara Islam. Apakah Islam memang tidak mengatur tata pemerintahan? Jelas Islam memperhatikan segala aspek kehidupan secara lengkap dan global, tak terkecuali politik dan pemerintahan. dalam Al-Quran banyak kita temukan ayat yang secara vulgar membeberkan disiplin kenegaraan. Satu contoh dalam surah An-Nisa’ ayat 59.

Memang saat ini dalam praktek pemerintahan, Negara-Negara Muslim banyak menganut sistem demokrasi. Sebut saja Mesir, Indonesia, Turki, Yaman, Tunisia dan lainnya. Walaupun demikian, banyak kalangan yang meragukan relevansi Islam dengan demokrasi. Ketika suatu Negara terlibat dalam demokrasi otomatis banyak problema yang akan menyusul. Sebut saja HAM, sistem multi Partai, kesetaraan gender bahkan kebebasan berekspresi, berpikir dan berpendapat. Maka Samuel Huntington dalam Benturan Peradaban mengatakan, bahwa Negara muslim tidak akrab dengan demokrasi. Maka pertanyaan awal apakah Islam tidak mengandung nilai-nilai demokrasi. Apakah benar dengungan persepsi barat bahwa Islam tidak relevan dengan HAM, Islam tidak mengusung kesetaraan gender? Apakah seabrek problema ini yang ditakutkan banyak Negara muslim untuk menjadikan syari’at Islam sebagai acuan dalam sistem kenegaraan?

Sample Negara Islam Dulu Dan Kini

Kegagalan berdakwah selama 13 tahun di tanah kelahiran beliau, Makkah, menginspirasi Rosulullah untuk melebarkan sayap dakwah di lain tempat. Selain itu, perjalan dakwah di Makkah terlalu mengkhawatirkan bagi Rosulullah dan Ashabiqunal Awwalun. Tujuan dakwah selanjutnya adalah sebuah kota yang bernama Yastrib. Tak disangka sebuah kota yang dihuni oleh masyarakat multi kultur dan multi agama ini menerima kedatangan Rosulullah dan para sahabat dengan gegap gempita. Mengejutkan justru karena Rosulullah dan para sahabat tergolong asing di kota ini. Beliau tidak mempunyai sanak famili, Malah menerima Rosulullah dengan senang hati laksana menerima seorang pemimpin besar. Padahal waktu itu penduduk Yastrib belum mengenal banyak eksistensi Muhammad sebagai Nabi Allah. Pemandangan kontras justru terjadi di Makkah, kota dimana Nabi dilahirkan justru menjadi ancaman serius bagi dakwah Nabi. Bahkan ancaman itu datang dari kerabat beliau sendiri.

Di Madina Nabi mulai menyusun strategi dakwah, sekaligus menata Madinah sedemikian rupa. Sehingga kehidupan Madinah menjadi lebih tertata, maju, dan beradab. Sebagaimana nama yang disematkan Nabi, Madinah, kota yang berkeadaban. (Prof. Dr. Komaruddin Hidayat)

Madinah masa Nabi adalah miniatur negara modern, dimana didalamnya hidup masyarakat yang multi kultur, multi suku, bahkan multi agama. Tapi bersatu padu membangun peradaban di bawah satu Qonun, yaitu Islam yang dikomandoi oleh Nabi. undang-undang kehidupan madani tersebut tersusun dalam suatu Piagam Madinah. Robert N.Bellah (1972) mengatakan, Madinah merupakan salah satu bentuk pemerintahan modern yang melandaskan konstitusinya pada nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi. Piagam Madinah merupakan salah satu pencapaian pemerintahan Nabi yang paling spektakuler, karena mampu membangun konstitusi atau konsensus yang berlandaskan kebhinekaan kelompok, baik suku maupun agama.

Maka banyak orang menilai masyarakat Madinah pada zaman Nabi, sebagai masyarakat yang terlalu modern untuk zaman itu. Hal ini tentu tidak berlebihan. Mengingat Nabi dapat menciptakan kehidupan yang begitu dinamis di tengah masyarakat yang majemuk. Di lain sisi, kehidupan kemasyarakatan Makkah adalah kehidupan yang masih tergolong jahiliyah. Kehidupan yang mengedepankan kekerasan dalam memecahkan masalah, kepemimpinan yang berlandaskan nasab.

Dari sini dapat kita lihat Madinah sebagai sampel Negara modern, majemuk multi suku dan kultur menjalankan sistem tatanan masyarakan dan Negara berdasarkan syari’at Islam. Sayangnya hal ini terjadi 14 abad yang lalu. Banyak kalangan dari berbagai Negara tak terkecuali Islam memuji keberhasilan Rosulullah dengan Piagam Madinah. Namun tidak jua beranjak untuk melakukan hal yang sama, bahkan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam sekalipun.

Setelah kita melihat kegemilangan sejarah, tentang Negara modern Madinah dan sebuah undang undang spektakuler Piagam Madinah, sekarang kita menyaksikan Negara yang juga meletakkan asas Islam dalam mengelola sistem kemasyarakatan dan kenegaraan. Dapat dikatakan hanya Iran yang masuk dalam kategori ini. Berhubung Negara yang berpenduduk mayoritas muslim lainnya menganut sistem Demokrasi dan Mamlakah. Walaupun dalam prakteknya kedua sistem ini banyak mengecewakan mayoritas penduduknya. Bahkan tidak jarang hanya melahirkan para pemimpin yang zalim. Terbukti dari banyak Negara arab berpenduduk muslim, sebut saja mesir, Tunisia, libiya, yaman dan beberapa Negara berpenduduk muslim lainnya.

Revolusi Iran menumbangkan kekuasaan tirani Reza Pahlevi terjadi pada tahun 1970. saat imam Ayatullah Khomeini merasa berkewajiban untuk mendengungkan seruan  kembali pada Islam, bahkan dalam tatanan politik dan pemerintahan. Karena pemerintahan pada waktu itu dinilai sudah tidak berada dalam asas-asas Islam. Lalu Khomeini mencanangkan tanggung jawab ulama dalam politik dan pemerintahan, dalam bentuk struktur terlembagakan yang harus diserahi kepercayaan kepemimpinan Negara. Usaha inipun akhirnya membuahkan hasil. Rezim Pahlevi tumbang. Berdirilah Republik Islam Iran.

Sejak saat itu sampai sekarang iran masih konsisten dengan Negara berasaskan Islam, republik Islam iran.

Untuk konsisten berpegang teguh pada asas Islam, khususnya Iran, bukan tanpa tantangan dan rintangan. Mayoritas Negara yang tidak senang dengan Islam menilai Iran sebagai Negara fundamental bahkan tertutup. akibatnya Amerika Serikat mengajak para sekutunya supaya hubungan perdagangan dengan iran dibekukan, artinya baikot ekonomi. Namun ternyata gertakan Negara yang dianggap paman oleh Indonesia ini tidak begitu saja menyurutkan semangat Iran untuk berteduh di bawah naungan syari’at Islam. Bahkan tahun lalu Iran sukses melaksanakan pemilu dengan semangat dan asas yang sama. Maka untuk sementara, Iran adalah sample Negara Islam kontemporer.

Wacana syari’at Islam di Indonesia

Wacana untuk mendirikan Negara yang beasaskan Islam di Indonesia sudah terdengar sejak pasca kemerdekaan. Dan ini terjadi di banyak daerah dengan mengusung Negara Islam Indonesia (NII). Namun kemudian organisasi ini dianggap terlarang karena dianggap ingin merubah asas tunggal Pancasila sebelum kemudian ditumpas. Organisasi ini berlanjut hingga tahun 1997 bahkan baru baru ini kembali terdengar dengan label berbeda yaitu menerapkan syari’at Islam di Indonesia dengan mengembalikan 7 kata dalam piagam Jakarta yang dihapus (dengan menjalankan syari’at Islam bagi semua pemeluknya). Walaupun gagasan untuk merubah Indonesia yang dipandang banyak kalangan fundamental sebagai Negara sekuler, namun menurut Prof. Azyumardi Azra gagasan untuk menuju ke sana dipandang tidak populer. Wacana Negara Islam tidak menjadi begitu naik ke permukaan justru karena organisasi besar di Indonesia tidak bergeming soal ini. Nahdhotul Ulama dan Muhamadiyah yang mempunyai pengaruh lebih besar di Indonesia ternyata tidak bergeming dengan wacana Negara Islam, untuk tidak mengatakan tidak begitu tertarik.

Belakangan wacana untuk menerapkan syari’at Islam di Indonesia di kemukakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) lalu menimbulkan perdebatan serius di tubuh umat Islam sendiri, sebelum kemudia wacana itu ternggelam ditelan waktu.

Kesalahan Persepsi

Ada beberapa problema sosial yang untuk sementara dianggap tidak relevan dengan Islam, kemudian ditakutkan juga tidak dapat diterima oleh masyarakat jika menganut asas Islam. Masalah ini kemudian menjadi momok bagi kebanyakan orang barat belakangan ini, bahkan Islam abangan. Sebut saja masalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan kesetaraan gender. Kedua masalah ini belakangan banyak diperbincangkan, baik dalam kuliah, seminar maupun media cetak dan elektronik. Celakanya, beberapa diskursus ini sampai pada kesimpulan, terutama pemikir barat, bahwa Islam tidak relevan dengan kedua tema di atas.

Orang barat menganggap dengan bangga bahwa kebebasan di wilayah mereka adalah mutlak. Mutlak dapat diartikan tidak ada batasan. Padahal kalau mau realistis, hampir tidak ada kebebasan mutlak di dunia ini. Mereka membanggakan Negara mereka yang maju karena menjunjung tinggi kebebasan lalu merendahkan Islam karena terletak banyak batasan dalam berfikir dan bermuamalah. Padahal dalam kehidupan komunis sekalipun tidak ada kebebasan mutlak. Pasti ada batasan-batasan tertentu. Dalam Islam pergaulan dibatasi oleh syari’at, dan tentu ada batasan yang tidak boleh disentuh. Kebebasan dalam semua aspek, tentu tidak mutlak, karena kebebasan kita dibatasi oleh hak orang lain. Jangan sampai dengan kebebasan kita dalam bertindak mengganggu hak orang lain. Begitu juga dalam berfikir, di barat sendiri sebenarnya tidak ada kebebasan mutlak dalam berfikir. Contoh dipenjarakannya seorang sejarahwan yang dalam penelitian sejarahnya berpendapat berbeda dengan sejarahwan lain mengenai peristiwa Hohocaust. (DR. Imad Hosen Muhammad, direktur Islamonline.com kantor perwakilan Kairo) begitupun dalam Islam, tentu ada hal-hal mutlak yang tidak boleh disentuh. Banyaknya batasan beralasan tentu saja karena kita orang Islam percaya bahwa kehidupan bukan hanya di dunia ini saja. Banyak hal yang akan kita pertanggung jawabkan di akhirat kelak.

Adanya wacana kebebasan yang begitu tampak di permukaan akhir-akhir ini jelas menandakan bahwa, minimnya legitimasi konstitusi keagamaan di wilayah non Islam. Khususnya di daerah yang didominasi kalangan Kristen. Hal ini dapat dengan jelas kita saksikan dalam film-film yang tak segan menampilkan adegan perkelahian bahkan asusila di rumah ibadah. Hal yang sama tidak pernah kita temukan dalam komunitas muslim.

Selain wacana kebebasa berfikir dan berekspresi, ada satu problema yang muncul akhir-akhir ini. Tak ketinggalan, masalah ini juga dinilai tidak relevan dengan nilai-nilai Islam. Kesetaraan gender menjadi isu hanyat belakangan ini. Sebenarnya isu ini sudah tampak di permukaan sejak 1976 dengan disetujuinya kesepakatan ASSIDOWI. Terdapat 16 butir permasalahan yang menuntut persamaan hak mutlak perempuan atas laki-laki dalam assidowi, baik persamaan dalam ruang lingkup sosial, kemanusiaan,pendidikan, maupun lapangan kerja. Dan ternyata, kalangan barat menganggap masalah ini kontradiktif dengan kehidupan masyarakat Muslim. Banyak kalangan, khususnya barat menganggap Islam kurang menjunjung tinggi hak perempuan, sebaliknya merendahkan kaum perempuan.

Persepsi miring di atas diambil tentu saja disebabkan minimnya pemahaman mereka tentang Islam. Mereka hanya tau kulit luar saja. Celakanya langsung melekatkan stempel negatif tentang islam. Menurut Prof. Dr. Su’ad Ibrahim Soleh, MA. (dekan fakultas Dirosah Islamiyah, Al-Azhar) kesetaraan dalam arti luas adalah saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan. Karena laki-laki dan perempuan diciptakan Allah dengan kelebihan masing masing. Antara satu dengan yang lain tidak memiliki sifat yang sama. Jadi sifat persamaan di sini bukan dalam arti mutlak, namun dalam arti yang lebih luas, yaitu saling melengkapi.

Permasalahan persamaan gender sebenarnya tidak perlu ada kontradiksi seperti yang ramai diperbincangkan di barat. Sebab laki-laki dan perempuan diciptakan Allah dengan peranan masing-masing. Bahkan sejak lahir pun laki-laki dan permpuan sudah terletak banyak perbedaan yang alami. Semisal perempuan memiliki karakter lemah lembut dan penyayang. Sebab berkaitan erat dengan peran yang akan ia jalani sebagai seorang ibu. Begitu juga laki-laki yang keras justru karena peran yang akan dijalani adalah mencari nafkah dan melindungi keluarga. Tidak ada masalah yang perlu diperdebatkan sebenarnya dalam masalah ini. Adapun ayat Al-Qur’an yang berbunyi “Ar Rijalu Qowamuna ‘Alan An-Nisa’ “ harus diselaraskan ayat berikutnya yang berbunyi “ Walahunna Mitslu Al-Ladzi ‘Alaihinna Bi Al’ma’ruf”

Sudah sepantasnya kita mengubur dalam-dalam persepsi untuk menyetarakan antara laki-laki dan perempuan. Sebab jika dipaksakan malah akan menimbulkan masalah yang lebih rumit. Bagaimana mungkin salah satu dari kedua jenis ini menjalani suatu profesi yang sebenarnya di luar kemampuan mereka.

Penutup

Akhir-akhir ini terjadi suatu fenomena yang sebelumnya tidak terduga, yaitu pecahnya revolusi di banyak Negara Timur Tengah yang berpenduduk mayoritas Muslim. Dari revolusi ini ada pertanyaan besar diantara sekian banyak prasangka tentang masa depan Negara-Negara tersebut. Pertanyaan tersebut sebenarnya tidak begitu asing, yaitu adakah yang tertarik untuk mengikrarkan diri menjadi Negara Islam?. Mengingat daerah yang baru saja berhasil mengibarkan bendera revolusi ini berpenduduk mayoritas Muslim.

Selain seabrek masalah yang akan dihadapi Negara muslim di atas, sebenarnya masih banyak masalah lain yang akan menyusul. Jika suatu Negara mengikrarkan menjadi Negara muslim otomatis wilayah tersebut harus disterilkan dari prostitusi, perjudian, minuman keras dan sebagainya. Celakanya, aset haram diatas menghasilkan tidak sedikit pendapatan Negara. Akan banyak pendapatan yang hilang jika Negara disterilkan dari perkara haram tersebut.

Itulah alasannya, jika dilihat lebih jauh, kita akan dirasuki perasaan pesimis Indonesia akan menjadi Negara Islam. Atau minimal menerapkan syari’at islam. Sebab tak dapat dikatakan sedikit pendapatan Negara dari prostitusi di Batam, Jakarta, Surabaya, Bali sampai Manado. Belum lagi masalah judi, muniman keras. Mungkin itulah alasan banyak kalangan menghalang-halangi terjadinya “Revolusi Syari’at” di Indonesia. Di sisi lain, sebagai Negara Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai syari’at, Iran masih beridri tegak sebagai Negara yang berdaulat. Meskipun tantangan dan rintangan datang silih berganti. Kemungkinan besar, hal inilah yang perlu untuk kita pelajari. Wallahu ‘a’lam..




  



Kamis, 19 Januari 2012

Menggapai Al-Azhar



Mesir dan Al-Azhar sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia secara umum, terkhusus kaum santri yang tersebar di berbagai Pesantren dan Madrasah seluruh Indonesia. Secara garis besar masing-masing Mesir dan Al-Azhar masyhur di Indonesia mempunyai satu alasan, Mesir dikenal oleh mayoritas masyarakat karena terkait sejarah penting bagi kedaulatan bangsa Indonesia. Sebagaimana Mesirlah bangsa asing yang pertama kali secara resmi mengetahui sebelum kemudian mengakui kemerdekaan Indonesia. Tak jauh berbeda pula alasan kenapa masyarakat kita mengenal Al-Azhar tak lain karena ribuan alumni Al-Azhar tersebar di seluruh nusantara, tak dipungkiri keberadaan mereka sangat diharapkan, khususnya untuk menangani urusan sosial-keagamaan di Tanah Air.

Ada ungkapan salah seorang teman yang menunjukkan nama besar Mesir dan Al-Azhar di Indonesia, “ke Mesir itu harapan semua orang” ungkapan ini tidak begitu berlebihan sebenarnya, mengingat sejarah luhur bangsa Mesir, tak ketinggalan juga tradisi keilmuan Al-Azhar, bahkan dikatakan bahwa jika Mekkah adalah kiblat umat Islam dalam ibadah, maka Mesir adalah kiblat umat Islam secara keilmuan. Hal ini jelas dapat kita lihat dari banyaknya ulama yang lahir dari rahim Al-Azhar. Bahkan ketika penulis dan beberapa orang teman pamit sekaligus minta wejangan sebelum melangkah ke Mesir kepada salah seorang ustadz lulusan Al-Azhar, beliau mengutip ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 61. dan itu memiliki nilai tambah bagi niat agung kami.

Menyadari nama besar dan pengaruh Al-Azhar, muda-mudi muslim Indonesia berlomba-lomba untuk dapat belajar di Universitas tertua ini. Pemerintahpun menyadari hal ini. maka secara umum ada dua lembaga yang menyalurkan niat mulia itu, departemen agama yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah Indonesia sendiri, juga baru-baru ini ada kedutaan besar Mesir sebagai perwakilan pemerintah Mesir dan Al-Azhar, selain beberapa lembaga lain yang ikut menjadi penyalur.

Walaupun demikian, untuk menginjakkan kaki di Bumi Kinanah sekaligus menyandang peredikat Azhari ternyata tidak mudah. Selain harus melewati seleksi yang ketat, ternyata para calon mahasiswa harus melewati ujian kesabaran. Secara khusus angkatan 2010-2011 dalam konteks ini, yang disalurkan kedutaan Mesir maupun departemen agama. Dan saya kira proses menunggu  yang tak menentu ini lebih berat. Teman-teman ada yang merasa malu untuk tinggal di kampung sendiri karena tak tahan menerima pertanyaan perihal keberangkatan ke Mesir, ada juga yang membesarkan hati dengan mendaftar kuliah di Perguruan Tinggi dalam negeri. Hal ini tidak lain disebabkan kepastian untuk menuju Mesir sama sekali tidak ada. Yang ada hanya kata tunggu! Sabar!

Setelah melewati seabrek kesukaran selama satu tahun lamanya, akhirnya sampailah kami semua di negeri seribu menara ini. Namun setelah sampai ke Mesir bukan serta-merta kesulitan itu khatam. Habis kesulitan di Tanah Air, muncul pula permasalahan baru. Bagaimana tidak, selama ini yang ada di benak kita, dengan administrasi panjang yang telah kami lewati  di Indonesia, paling tidak kita bisa langsung duduk di bangku kuliah atau sekurang-kurangnya sudah terdaftar sebagai mahasiswa Al-Azhar. Ternyata drama administrasi belum usai, di sini kita dikenalkan dengan istilah Ijro’at yang melelahkan. Bahkan yang paling menyayat adalah melahap kata Bukroh di saat sudah seharian setia menunggu sambil berdiri.

Menyadari berbagai problema di atas, paling tidak semakin meneguhkan niat dan cita-cita mulia kita dari kampung halaman. Semakin memantabkan tekad untuk manimbah ilmu sebanyak-banyaknya. Tentu saja setelah melahap Ijro’at dan kalimat Bukroh mentah-mentah kita akan merasa rugi jiga hanya pindah lokasi tidur. Setelah kesukaran yang dialami oleh teman-teman angkatan 2010-2011 paling tidak memberikan power baru untuk tidak menyia-nyiakan waktu. Mengambil ilmu seluas mungkin sebelum kemudian berbagi dan mengamalkan ilmu itu untuk masyarakat, bangsa dan Negara kita.

Sebenarnya penulis hanya mengulang cerita lama. Mengingat semua itu sudah lama berlalu, hampir satu tahun. Bahkan kita sedang mempersiapkan diri menghadapi ujian termin dua dengan spesialisasi masing-masing, juga  teman-teman yang masih terdaftar di kelas matrikulasi. Namun paling tidak, mengingat proses panjang dan tidak mudah yang kita lewati beberapa waktu lalu itu akan membakar semangat kita. Mungkin saja ada yang layu diterpa angin revolusi. Perlu kiranya untuk kita ingat juga, perjuangan yang telah kita lakukan belum seberapa bila dibandingkan dengan perjuangan yang akan kita hadapi ke depan. Baik perjuangan jangka pendek di Mesir, maupun perjuangan jangka panjang setelah pulang ke Tanah Air.

Besar harapan kami mahasiswa baru angkatan 2010-2011 kepada kakak-kakak senior untuk memberikan arahan, bimbingan dan ajakan untuk menyelami samudera ilmu di Al-Azhar maupun Mesir secara umum. Ajaklah kami untuk belajar, ingatkan kami  jika kami terlalu bertindak kejauhan, bimbing kami untuk mewujudkan niat suci ini. Allahu Ghafur Ar-Rahim





Kejayaan Peradaban Islam, Dari Mimpi Ke Nostalgia


Prolog

Membincang kejayaan peradaban Islam di masa lalu seakan sebuah nostalgia. Mengingat masa keemasan itu sudah jauh sekali berlalu, kurang lebih 7 abad silam. namun mengingat sejarah adalah satu langkah positif untuk sekedar setapak lebih maju dari umat terdahulu.
Ibnu Kholdun pernah menegaskan, " Sejarah adalah ilmu yang amat penting, terutama bagi mereka yang ingin mengetahiu urusan dunia dan akhirat. Bahkan sejarah dapat menyelamatkan seseorang dari kekeliruan dan keterpelesetan".
Kemajuan Eropa masa kini tidak lepas dari pengaruh masa keemasan Islam abad pertengahan. Banyak sekali buku-buku penting tentang berbagai disiplin ilmu diangkut dari arab ke Eropa untuk diterjemahkan, lalu menjadi rujukan penting di banyak perguruan tinggi di Eropa.

Bermula dari madina

Madina adalah kota penting kedua bagi umat Islam setelah kota Mekkah. Bukan hanya karena keterkaitan dua kota ini dalam perjalanan haji, tapi juga latar historis madina sebagai kota, dimana peradaban Islam pertama kali dibangun oleh Muhammad SAW.
Madinah adalah kota yang menginspirasi munculnya kota-kota lain sesudahnya. Seperti, kairo, Baghdad, demskus bahkan Andalusia. Di kota ini Nabi mulai melebarkan sayap-sayap dakwah, setelah sebelumnya dakwah Nabi ditentang secara serius di kota kelahiran beliau, Mekkah. Penolakan dan ancaman besar-besaran dari penduduk Mekkah memaksa Nabi untuk melakukan hijrah. Perjalanan dakwah Nabi di kota kelahiran beliau selama 13 tahun seakan berjalan di tempat. Bagaimana mungkin Islam akan berkembang ke seantero dunia andai Nabi tidak berinisiatif untuk melakukan perjalanan dakwah. Namun tak disangka, ternyata justru di Madina dakwah Nabi diterima dengan lapang dada. Hal ini tentu mengejutkan, justru karena Madina, yang waktu itu bernama yastrib, adalah kota dimana tidak ada seorangpun dari kerabat nabi. Asing bagi nabi dan sahabat-sahabatnya.
Yastrib yang waktu itu dihuni oleh penduduk yang multi suku, secara mengejutkan menerima Nabi dengan gegap gembita. Mereka menerima kedatangan Nabi seakan menyambut seorang pemimpin penting. Padahal waktu itu mereka belum beriman, dapat dikatakan bahwa penduduk Yastrib waktu itu belum tau banyak tentang eksistensi Muhamad SAW sebagai utusan Allah. hal yang kontras dengan fenomena di Mekkah, dimana nabi diancam habis-habisan oleh penduduk setempat. Bahkan oleh kaum kerabat beliau sendiri.
Di Madina Nabi mulai menyusun strategi dakwah, sekaligus menata Madinah sedemikian rupa. Sehingga kehidupan madinah menjadi lebih tertata, maju, dan beradab. Sebagaimana nama yang disematkan Nabi, Madinah, kota yang berkeadaban. (Prof. Dr. Komaruddin Hidayat)
Madinah masa Nabi adalah miniatur kota modern, dimana didalamnya hidup masyarakat yang multi kultur, multi suku, bahkan multi agama. Tapi bersatu padu membangun peradaban di bawah satu Qonun, yaitu Islam yang dikomandoi oleh Nabi. undang-undang kehidupan madani tersebut tersusun dalam suatu Piagam Madinah. Robert N.Bellah (1972) mengatakan, Madinah merupakan salah satu bentuk pemerintahan modern yang melandaskan konstitusinya pada nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi. Piagam Madinah merupakan salah satu pencapaian pemerintahan Nabi yang paling spektakuler, karena mampu membangun konstitusi atau konsensus yang berlandaskan kebhinekaan kelompok, baik suku maupun agama.
Maka banyak orang menilai masyarakat Madinah pada zaman Nabi, sebagai masyarakat yang terlalu modern untuk zaman itu. Hal ini tertu tidak berlebihan. Mengingat nabi dapat menciptakan kehidupan yang begitu dinamis di tengah masyarakat yang majemuk. Di lain sisi, kehidupan kemasyarakatan Mekkah adalah kehidupan yang masih tergolong jahiliyah. Kehidupan yang mengedepankan kekerasan dalam memecahkan masalah, kepemimpinan yang berlandaskan nasab.
Perubahan nama dari Yastrib menuju Madinah dari segi nama tentu beralasan. Dari sinilah tatanan kehidupan sosial Madinah dibenahi secara total. Walaupun waktu itu posisi umat Islam belum bisa dikatakan mayoritas. Dari sini juga Nabi menyusun strategi untuk membebaskan kota Mekkah. Keberhasilan nabi membangun madinah diteruskan oleh empat kholifah sesudah nabi, Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khottob, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib.

Daulah Abbasiah, Kejayaan Islam Abad Pertengahan

Keluarga Abbas bekuasa setelah keluarga Umayyah yang berhasil mereput tampuk kepemimpinan dari Kholifah keempat, Ali bin Abi Tholib. Jika di zaman dinasti Umayyah diwarnai dengan perang saudara antara umat Islam sendiri, serta menyeruaknya isu kekerasan terhadap Ahlil Bait, maka di zaman dinasti Abbasiayah, masa meranumlah kesustraan dan ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu klasik peninggalan peradaban Yunani dan Persia disalin ke dalam Bahasa Arab. Suatu kehausan terhadap ilmu pengetahuan yang yang belum pernah ada dalam sejarah umat manusia.
Gerakan penerjemahan adalah langkah penting dibalik dibalik masa keemasan Islam era Dinasti Abbasiyah. Penerjemahan besar-besaran dilakukan di sebuah lembaga khusus, The House Of Wisdom/Bait Al-Hikmah yang dibangun pada masa pemerintahan  al-Makmun (813-833). Di lembaga ini berbagai disiplin ilmu asing diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Khususnya peninggalan peradaban Yunani dan Persia. Berbagai disiplin ilmupun berkembang pesat. Sebut saja, Aqidah, Filsafat, Kedokteran, Sosiologi, bahkan  Astronomi.
Pada era Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat mulia dan berharga. Penguasa membuka jalan selebar-lebarnya, serta meyediakan dana yang tidak sedikit untuk perkembangan penerjemahan dan penelitian. Sehingga tidak heran jika di zaman ini lahir beberapa tokoh penting dengan seabrek penemuan dan karya monumental. Seperti, Al-Khowarizmi (780-850) yang menemukan angka Nol, bahkan namanya diabadikan dalam satu cabang ilmu Matematika, Algoritma (Logaritma). Ada Ibnu Sina (980-1037) dengan teori-teori spektakuler dalam ilmu Filsafat dan Kedokteran. Ibnu sina berhasil menciptakan Thermometer udara untuk mengukur suhu udara. Bahkan di Barat namanya termasyhur sebagai Avicena. Di zaman ini hidup juga Al-Biruni (973-1048) yang melakukan pengamatan terhadap tanaman, sehingga diperoleh kesimpulan bahwa Bunga memiliki 3, 4, 5, atau 18 daun Bunga dan tidak pernah 7 atau 9.
Pada abad ke-8 dan 9 M, Negeri Irak dihuni oleh 30 juta penduduk yang 80% nya merupakan petani. Hebatnya, mereka sudah memakai sistem irigasi modern dari sungai Eufrat dan Tigris. Kecanggihan teknilogi masa ini juga terlihat dari peninggalan sejarahnya. Seperti arsitektur Masjid Agung Cordoba, Masjid Biru di Konstatinopel, Istana Al-Hamra yang dibangun di Seville, Andalusia.
Dinasti Abbasiyah telah membawa Islam kepada puncak keemasan. Dimana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Dua pertiga Dunia berhasil ditaklukkan dibawah kekhalifaan Islam. Hal yang kontras justru dialami Bangsa-Bangsa Eropa yang berada dalam masa kegelapan. Ilmu pengetahuan terpasung dibawah otoritas greja  yang kaku.

Tinggal Catatan Sejarah

Masa keemasan yang dibangun umat Islam sejak priode Madinah kini hanya tinggal kenangan, kata orang membincang kejayaan Islam hanya nostalgia masa lalu. Kejatuhan Islam ke tangan Barat berawal pada abad ke-18, setelah kota Bagdad yang menjadi pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah diserang oleh Bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan.  Disisi lain tradisi keilmuan yang kurang berkembang pada masa dinasti Ustmaniyah.
Salah langkah diambil ketika Dinasti Ustmaniyah mendukung Jerman pada saat Perang Dunia pertama, ketika Jerman kalah, otomatis Turki menjadi Negara yang kalah perang. Sehingga wilayah mereka dirampas oleh Inggris dan Prancis. Puncaknya pada tanggal 3 maret 1924 Khilafah Islamiyah dihapus oleh konstitusi turki. Sejak saat itu tidak ada lagi Negara yang konsisten menganut sistem Khilafah Islamiyah. KHILAFAH Islamiyah di Turki digantikan dengan sistem sekuler yang dipelopori oleh Mustafa Kemal At-Taturk.
700 tahun berlalu, akankah Islam kembali kepada masa kejayaan seperti yang terjadi di masa awal perkembangannya? Ktua MUI KH Muhamad Kholil Ridwan menyatakan optimismenya, bahwa Islam akan kembali Berjaya di muka bumi. Seperti janji allah, kata kholil, 700 tahun pertama islam Berjaya, 700 tahun berikutnya islam jatuh, danh sekarang tengah mengalami priode 700 tahun ketiga menuju kebangkitan.  

Penutup

Sekarang 7 abad telah berlalu. Kejayaan peradaban Islampun tinggal catatan sejarah. Kurang relevan jika kita hanya membincang sejarah tanpa berusaha untuk membangunya kembali. Pun demikian, bukan berarti kita tidak boleh membanggakan sejarah.
Kita menyaksikan masa keemasan Eropa di zaman ini. Namu kita tidak boleh minder dengan modernisasi, karena dibalik kejayaan Eropa masa kini, kita temukan pengaruh Islam masa lampau. Suatu saat nanti, entah kapan, Islam akan menemukan kejayaan itu kembali, Insya Allah…