Prolog
Tepat pada tanggal 3 maret 1924 Khilafah
Islamiyah dihapuskan oleh konstitusi Turki. Sejak saat itu sampai sekarang
dapat dikatakan hanya Iran
yang menganut sistem Negara Islam secara konstitusi. Walaupun banyak Negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun secara konstitusi menganut sistem
monarki atau republik. Apa sebenarnya yang ditakutkan dengan sistem Khilafah Islamiyah?
Apakah wacana Negara Islam tidak lagi relevan saat ini? Bukankah Islam itu
menebar kasih sayang untuk semua manusia. Bahkan Islam relevan sepanjang waktu
dan tempat?
Arab Saudi, adalah titik temu
semua umat Islam dari seluruh dunia dalam ibadah haji. negara ini juga titik
awal kelahiran dan perkembangan Islam. Nyatanya Negara ini menganut sistem Monarki
dalam praktek kenegaraan. Mengapa Negara yang menjadi kiblat bagi seluruh umat Islam
dunia ini tidak tertarik untuk mendirikan Negara Islam. Apakah Islam memang
tidak mengatur tata pemerintahan? Jelas Islam memperhatikan segala aspek
kehidupan secara lengkap dan global, tak terkecuali politik dan pemerintahan.
dalam Al-Quran banyak kita temukan ayat yang secara vulgar membeberkan disiplin
kenegaraan. Satu contoh dalam surah An-Nisa’ ayat 59.
Memang saat ini dalam praktek
pemerintahan, Negara-Negara Muslim banyak menganut sistem demokrasi. Sebut saja
Mesir, Indonesia,
Turki, Yaman, Tunisia dan lainnya. Walaupun
demikian, banyak kalangan yang meragukan relevansi Islam dengan demokrasi.
Ketika suatu Negara terlibat dalam demokrasi otomatis banyak problema yang akan
menyusul. Sebut saja HAM, sistem multi Partai, kesetaraan gender bahkan
kebebasan berekspresi, berpikir dan berpendapat. Maka Samuel Huntington dalam Benturan Peradaban mengatakan, bahwa
Negara muslim tidak akrab dengan demokrasi. Maka pertanyaan awal apakah Islam
tidak mengandung nilai-nilai demokrasi. Apakah benar dengungan persepsi barat
bahwa Islam tidak relevan dengan HAM, Islam tidak mengusung kesetaraan gender?
Apakah seabrek problema ini yang ditakutkan banyak Negara muslim untuk
menjadikan syari’at Islam sebagai acuan dalam sistem kenegaraan?
Sample Negara Islam Dulu Dan Kini
Kegagalan berdakwah selama 13 tahun di tanah kelahiran beliau, Makkah,
menginspirasi Rosulullah untuk melebarkan sayap dakwah di lain tempat. Selain
itu, perjalan dakwah di Makkah terlalu mengkhawatirkan bagi Rosulullah dan Ashabiqunal Awwalun. Tujuan dakwah
selanjutnya adalah sebuah kota
yang bernama Yastrib. Tak disangka sebuah kota
yang dihuni oleh masyarakat multi kultur dan multi agama ini menerima
kedatangan Rosulullah dan para sahabat dengan gegap gempita. Mengejutkan justru
karena Rosulullah dan para sahabat tergolong asing di kota ini. Beliau tidak mempunyai sanak famili,
Malah menerima Rosulullah dengan senang hati laksana menerima seorang pemimpin
besar. Padahal waktu itu penduduk Yastrib belum mengenal banyak eksistensi
Muhammad sebagai Nabi Allah. Pemandangan kontras justru terjadi di Makkah, kota dimana Nabi dilahirkan
justru menjadi ancaman serius bagi dakwah Nabi. Bahkan ancaman itu datang dari
kerabat beliau sendiri.
Di Madina Nabi mulai menyusun strategi dakwah, sekaligus menata Madinah
sedemikian rupa. Sehingga kehidupan Madinah menjadi lebih tertata, maju, dan
beradab. Sebagaimana nama yang disematkan Nabi, Madinah, kota yang berkeadaban. (Prof. Dr. Komaruddin
Hidayat)
Madinah masa Nabi adalah miniatur negara modern, dimana didalamnya hidup
masyarakat yang multi kultur, multi suku, bahkan multi agama. Tapi bersatu padu
membangun peradaban di bawah satu Qonun, yaitu Islam yang dikomandoi
oleh Nabi. undang-undang kehidupan madani tersebut tersusun dalam suatu Piagam
Madinah. Robert N.Bellah (1972) mengatakan, Madinah merupakan salah satu bentuk
pemerintahan modern yang melandaskan konstitusinya pada nilai-nilai kemanusiaan
dan demokrasi. Piagam Madinah merupakan salah satu pencapaian pemerintahan Nabi
yang paling spektakuler, karena mampu membangun konstitusi atau konsensus yang
berlandaskan kebhinekaan kelompok, baik suku maupun agama.
Maka banyak orang menilai masyarakat Madinah pada zaman Nabi, sebagai
masyarakat yang terlalu modern untuk zaman itu. Hal ini tentu tidak berlebihan.
Mengingat Nabi dapat menciptakan kehidupan yang begitu dinamis di tengah
masyarakat yang majemuk. Di lain sisi, kehidupan kemasyarakatan Makkah adalah
kehidupan yang masih tergolong jahiliyah. Kehidupan yang mengedepankan
kekerasan dalam memecahkan masalah, kepemimpinan yang berlandaskan nasab.
Dari sini dapat kita lihat Madinah sebagai sampel Negara modern, majemuk
multi suku dan kultur menjalankan sistem tatanan masyarakan dan Negara
berdasarkan syari’at Islam. Sayangnya hal ini terjadi 14 abad yang lalu. Banyak
kalangan dari berbagai Negara tak terkecuali Islam memuji keberhasilan Rosulullah
dengan Piagam Madinah. Namun tidak jua beranjak untuk melakukan hal yang sama,
bahkan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam sekalipun.
Setelah kita melihat kegemilangan sejarah, tentang Negara modern Madinah
dan sebuah undang undang spektakuler Piagam Madinah, sekarang kita menyaksikan
Negara yang juga meletakkan asas Islam dalam mengelola sistem kemasyarakatan
dan kenegaraan. Dapat dikatakan hanya Iran yang masuk dalam kategori ini.
Berhubung Negara yang berpenduduk mayoritas muslim lainnya menganut sistem Demokrasi
dan Mamlakah. Walaupun dalam prakteknya kedua sistem ini banyak mengecewakan
mayoritas penduduknya. Bahkan tidak jarang hanya melahirkan para pemimpin yang
zalim. Terbukti dari banyak Negara arab berpenduduk muslim, sebut saja mesir, Tunisia,
libiya, yaman dan beberapa Negara berpenduduk muslim lainnya.
Revolusi Iran
menumbangkan kekuasaan tirani Reza Pahlevi terjadi pada tahun 1970. saat imam Ayatullah
Khomeini merasa berkewajiban untuk mendengungkan seruan kembali pada Islam, bahkan dalam tatanan
politik dan pemerintahan. Karena pemerintahan pada waktu itu dinilai sudah tidak
berada dalam asas-asas Islam. Lalu Khomeini mencanangkan tanggung jawab ulama
dalam politik dan pemerintahan, dalam bentuk struktur terlembagakan yang harus
diserahi kepercayaan kepemimpinan Negara. Usaha inipun akhirnya membuahkan
hasil. Rezim Pahlevi tumbang. Berdirilah Republik Islam Iran.
Sejak saat itu sampai sekarang iran
masih konsisten dengan Negara berasaskan Islam, republik Islam iran.
Untuk konsisten berpegang teguh pada asas Islam, khususnya Iran,
bukan tanpa tantangan dan rintangan. Mayoritas Negara yang tidak senang dengan Islam
menilai Iran
sebagai Negara fundamental bahkan tertutup. akibatnya Amerika Serikat mengajak
para sekutunya supaya hubungan perdagangan dengan iran dibekukan, artinya baikot
ekonomi. Namun ternyata gertakan Negara yang dianggap paman oleh Indonesia ini tidak begitu saja menyurutkan
semangat Iran
untuk berteduh di bawah naungan syari’at Islam. Bahkan tahun lalu Iran sukses
melaksanakan pemilu dengan semangat dan asas yang sama. Maka untuk sementara, Iran adalah
sample Negara Islam kontemporer.
Wacana syari’at Islam di
Indonesia
Wacana untuk mendirikan Negara yang beasaskan Islam di Indonesia sudah terdengar sejak
pasca kemerdekaan. Dan ini terjadi di banyak daerah dengan mengusung Negara Islam
Indonesia (NII). Namun kemudian organisasi ini dianggap terlarang karena
dianggap ingin merubah asas tunggal Pancasila sebelum kemudian ditumpas. Organisasi
ini berlanjut hingga tahun 1997 bahkan baru baru ini kembali terdengar dengan
label berbeda yaitu menerapkan syari’at Islam di Indonesia dengan mengembalikan
7 kata dalam piagam Jakarta yang dihapus (dengan menjalankan syari’at Islam
bagi semua pemeluknya). Walaupun gagasan untuk merubah Indonesia yang dipandang banyak kalangan
fundamental sebagai Negara sekuler, namun menurut Prof. Azyumardi Azra gagasan
untuk menuju ke sana dipandang tidak populer. Wacana Negara Islam tidak menjadi
begitu naik ke permukaan justru karena organisasi besar di Indonesia tidak bergeming soal ini.
Nahdhotul Ulama dan Muhamadiyah yang mempunyai pengaruh lebih besar di Indonesia
ternyata tidak bergeming dengan wacana Negara Islam, untuk tidak mengatakan
tidak begitu tertarik.
Belakangan wacana untuk menerapkan syari’at Islam di Indonesia di
kemukakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) lalu menimbulkan perdebatan serius
di tubuh umat Islam sendiri, sebelum kemudia wacana itu ternggelam ditelan
waktu.
Kesalahan Persepsi
Ada beberapa problema sosial yang untuk sementara
dianggap tidak relevan dengan Islam, kemudian ditakutkan juga tidak dapat
diterima oleh masyarakat jika menganut asas Islam. Masalah ini kemudian menjadi
momok bagi kebanyakan orang barat belakangan ini, bahkan Islam abangan. Sebut
saja masalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan kesetaraan gender. Kedua masalah ini
belakangan banyak diperbincangkan, baik dalam kuliah, seminar maupun media
cetak dan elektronik. Celakanya, beberapa diskursus ini sampai pada kesimpulan,
terutama pemikir barat, bahwa Islam tidak relevan dengan kedua tema di atas.
Orang barat menganggap dengan bangga bahwa kebebasan di wilayah mereka
adalah mutlak. Mutlak dapat diartikan tidak ada batasan. Padahal kalau mau
realistis, hampir tidak ada kebebasan mutlak di dunia ini. Mereka membanggakan
Negara mereka yang maju karena menjunjung tinggi kebebasan lalu merendahkan Islam
karena terletak banyak batasan dalam berfikir dan bermuamalah. Padahal dalam
kehidupan komunis sekalipun tidak ada kebebasan mutlak. Pasti ada
batasan-batasan tertentu. Dalam Islam pergaulan dibatasi oleh syari’at, dan
tentu ada batasan yang tidak boleh disentuh. Kebebasan dalam semua aspek, tentu
tidak mutlak, karena kebebasan kita dibatasi oleh hak orang lain. Jangan sampai
dengan kebebasan kita dalam bertindak mengganggu hak orang lain. Begitu juga
dalam berfikir, di barat sendiri sebenarnya tidak ada kebebasan mutlak dalam
berfikir. Contoh dipenjarakannya seorang sejarahwan yang dalam penelitian
sejarahnya berpendapat berbeda dengan sejarahwan lain mengenai peristiwa Hohocaust. (DR. Imad Hosen Muhammad,
direktur Islamonline.com kantor perwakilan Kairo) begitupun dalam Islam, tentu
ada hal-hal mutlak yang tidak boleh disentuh. Banyaknya batasan beralasan tentu
saja karena kita orang Islam percaya bahwa kehidupan bukan hanya di dunia ini
saja. Banyak hal yang akan kita pertanggung jawabkan di akhirat kelak.
Adanya wacana kebebasan yang begitu tampak di permukaan akhir-akhir ini
jelas menandakan bahwa, minimnya legitimasi konstitusi keagamaan di wilayah non
Islam. Khususnya di daerah yang didominasi kalangan Kristen. Hal ini dapat dengan
jelas kita saksikan dalam film-film yang tak segan menampilkan adegan
perkelahian bahkan asusila di rumah ibadah. Hal yang sama tidak pernah kita
temukan dalam komunitas muslim.
Selain wacana kebebasa berfikir dan berekspresi, ada satu problema yang
muncul akhir-akhir ini. Tak ketinggalan, masalah ini juga dinilai tidak relevan
dengan nilai-nilai Islam. Kesetaraan gender menjadi isu hanyat belakangan ini.
Sebenarnya isu ini sudah tampak di permukaan sejak 1976 dengan disetujuinya
kesepakatan ASSIDOWI. Terdapat 16 butir permasalahan yang menuntut persamaan
hak mutlak perempuan atas laki-laki dalam assidowi, baik persamaan dalam ruang
lingkup sosial, kemanusiaan,pendidikan, maupun lapangan kerja. Dan ternyata, kalangan
barat menganggap masalah ini kontradiktif dengan kehidupan masyarakat Muslim.
Banyak kalangan, khususnya barat menganggap Islam kurang menjunjung tinggi hak
perempuan, sebaliknya merendahkan kaum perempuan.
Persepsi miring di atas diambil tentu saja disebabkan minimnya pemahaman
mereka tentang Islam. Mereka hanya tau kulit luar saja. Celakanya langsung
melekatkan stempel negatif tentang islam. Menurut Prof. Dr. Su’ad Ibrahim Soleh, MA.
(dekan fakultas Dirosah Islamiyah, Al-Azhar) kesetaraan dalam arti luas adalah
saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan. Karena laki-laki dan
perempuan diciptakan Allah dengan kelebihan masing masing. Antara satu dengan
yang lain tidak memiliki sifat yang sama. Jadi sifat persamaan di sini bukan
dalam arti mutlak, namun dalam arti yang lebih luas, yaitu saling melengkapi.
Permasalahan persamaan gender sebenarnya tidak perlu ada kontradiksi
seperti yang ramai diperbincangkan di barat. Sebab laki-laki dan perempuan
diciptakan Allah dengan peranan masing-masing. Bahkan sejak lahir pun laki-laki
dan permpuan sudah terletak banyak perbedaan yang alami. Semisal perempuan
memiliki karakter lemah lembut dan penyayang. Sebab berkaitan erat dengan peran
yang akan ia jalani sebagai seorang ibu. Begitu juga laki-laki yang keras
justru karena peran yang akan dijalani adalah mencari nafkah dan melindungi
keluarga. Tidak ada masalah yang perlu diperdebatkan sebenarnya dalam masalah
ini. Adapun ayat Al-Qur’an yang berbunyi “Ar
Rijalu Qowamuna ‘Alan An-Nisa’ “ harus diselaraskan ayat berikutnya yang
berbunyi “ Walahunna Mitslu Al-Ladzi
‘Alaihinna Bi Al’ma’ruf”
Sudah sepantasnya kita mengubur dalam-dalam persepsi untuk menyetarakan
antara laki-laki dan perempuan. Sebab jika dipaksakan malah akan menimbulkan
masalah yang lebih rumit. Bagaimana mungkin salah satu dari kedua jenis ini
menjalani suatu profesi yang sebenarnya di luar kemampuan mereka.
Penutup
Akhir-akhir ini terjadi suatu fenomena yang sebelumnya tidak terduga,
yaitu pecahnya revolusi di banyak Negara Timur Tengah yang berpenduduk
mayoritas Muslim. Dari revolusi ini ada pertanyaan besar diantara sekian banyak
prasangka tentang masa depan Negara-Negara tersebut. Pertanyaan tersebut
sebenarnya tidak begitu asing, yaitu adakah yang tertarik untuk mengikrarkan diri
menjadi Negara Islam?. Mengingat daerah yang baru saja berhasil mengibarkan
bendera revolusi ini berpenduduk mayoritas Muslim.
Selain seabrek masalah yang akan dihadapi Negara muslim di atas,
sebenarnya masih banyak masalah lain yang akan menyusul. Jika suatu Negara
mengikrarkan menjadi Negara muslim otomatis wilayah tersebut harus disterilkan
dari prostitusi, perjudian, minuman keras dan sebagainya. Celakanya, aset haram
diatas menghasilkan tidak sedikit pendapatan Negara. Akan banyak pendapatan yang
hilang jika Negara disterilkan dari perkara haram tersebut.
Itulah alasannya, jika dilihat lebih jauh, kita akan dirasuki perasaan
pesimis Indonesia
akan menjadi Negara Islam. Atau minimal menerapkan syari’at islam. Sebab tak
dapat dikatakan sedikit pendapatan Negara dari prostitusi di Batam, Jakarta, Surabaya, Bali sampai
Manado. Belum
lagi masalah judi, muniman keras. Mungkin itulah alasan banyak kalangan
menghalang-halangi terjadinya “Revolusi Syari’at” di Indonesia. Di sisi lain, sebagai
Negara Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai syari’at, Iran masih
beridri tegak sebagai Negara yang berdaulat. Meskipun tantangan dan rintangan
datang silih berganti. Kemungkinan besar, hal inilah yang perlu untuk kita
pelajari. Wallahu ‘a’lam..