Kamis, 26 Januari 2012

Sarung dan Jubah



Aku ingin merasakan Indonesia pada Idul Adha kali ini. Meski kaki tidak berpijak di tanah surga  Indonesia, namun paling tidak bisa mengingatkan akan  kampung halaman. Inisiatif beberapa teman Bu’ust untuk membalut tubuh kami  dengan busana muslim Indonesia; paduan antara sarung dan batik. Cukup brilliant. Sangat Indonesia. Sedikit harapan agar kerinduan akan Kampung Nan Jauh Di Mato dapat terobati.
Suatu fenomena wajar bagi mahasiswa kere berotak bebal seperti saya, merasa “cepat pulang” adalah kata-kata di awang-awang, jauh. Jika sebagian mahasiswa kere berotak encer dapat menyelesaikan studi dengan cepat, cepat pula bersua dengan kampung halaman. Tak jauh berbeda dengan mahasiswa berotak bebal namun berdompet tebal, bisa lebih cepat lagi, bahkan berkali-kali pulang. Nah saya, kedua nikmat itu terasa jauh. Kalau dipaksakan dengan bahasa halus akan terdengar “belum diberikan”.

Aku lebih bersemangat kali ini, suara takbiran terdengar lantang namun lurus. Tidak seperti lantunan takbir di Indonesia yang berirama khas, di Mesir ternyata kumandang takbir hanya dibawakan datar, seperti air sungai. Tidak ada lekukan-lekukan nada syahdu, membosankan kongkritnya. Namun tidak mengurangi semangatku, karena hari ini Hari Raya. Hari besar Umat Islam.
Kalau di dunia anak-anak, hari ini identik dengan ‘pakaian baru’, lain hal bagi remaja yang identik dengan hari “Jalan-Jalan”, orang tua mengidentikkan hari ini dengan hari “silaturrohim”, walaupun sebenarnya dalam prakteknya bisa saja tertukar bahkan akumulatif. Misalnya, selain anak-anak, remaja dan orang dewasa juga pengen punya baju baru saat lebaran, atau barangkali orang dewasa jalan-jalan dan remaja silaturrohim, atau bisa jadi  orang dewasa saat lebaran mengenakan pakaian baru, jalan-jalan dan silaturrohim.

Pagi ini kami akan Shalat ‘Ied di Masjid Ar-Rahman-Ar-Rahim nan megah. Mengenakan sarung  khas Indonesia yang rapi plus batik dengan model dan warna yang beragam, kami menuju masjid yang agak jauh dari asrama. Berjalan agak tergopoh-gopoh karena takut tak kebagian tempat. Teman-teman se-asrama yang melihat kami berbusana seragam tersenyum simpul. Mereka sudah paham, kami orang Indonesia, ini budaya kami. Berbalik seratus delapan puluh derajat respon berubah setelah melewati gerbang asrama. Beberapa orang Mesir yang melihat kami dari mobil tertawa, bahkan ada yang terbahak-bahak. Respon negatrif ini bertalu-talu hingga kami memasuki masjid. Masjid sudah hampir penuh, kami memasuki masjid, jama’ah menoleh kearah kami. Sekali lagi tersenyum, anak-anak tertawa, bukan senyum menghargai, bukan senyum kagum. Merasa aneh barangkali.

Sarung, di Indonesia dan di Mesir, kemungkinan Arab seluruhnya, mempunyai dua arti yang jauh berbeda. Jika di Indonesia Sarung adalah busana Santri, busana orang Alim, busana sopan yang dikenakan ketika Shalat, busana menghadap Tuhan. Mayoritas pesantren di Indonesia, tradisional kah, modern kah, mengenakan sarung ketika shalat. Kurang tau kalau pesantren impor.
Makna yang jauh berbeda jika sarung dikenakan orang Mesir. Mereka memakai sarung hanya jika ingin “j***’”.  Lantaran budaya ini sudah mengakar dalam tempurung kepala mereka, lantas jika melihat orang lain memakai sarung, tak peduli orang asing, mereka jadi bernafsu, nafsu ingin menertawakan. Tak peduli barangkali ada makna berbeda bagi orang lain. Sebuah ketimpangan. Maka wajarkah jika di Indonesia, orang memakai Jubah dianggap orang Alim, Soleh, bahkan dianggap sakral. Selanjutnya jika mengenakan jubah mencerminkan jiwa yang Soleh, lantas semua orang takdzim.

Walaupun jubah sudah jelas budaya Arab, namun karena Islam lahir dan berkembang pada fase awal di tanah Arab, lantas semua yang berbau Arab juga juga mengalami islamisasi. Ya jubah contohnya. Padahal jubah adalah budaya Arab, pakaian tradisional. Saksikanlah anak-anak muda Mesir yang jauh dari sentuhan modernisasi, sehari-hari mengenakan jubah bukan lantaran mereka soleh, tapi itu pakaian mereka. Amu-amu dengan seabreg profesi unik sebagai contoh tambahan.  Wajar jika di kalangan pemikir Islam progresif Indonesia bab arabisasi islam banyak ditentang, ini tidak adil.
Perbedaan sarung dan jubah tidak tergolong sederhana, tidak sesederhana masalah teh hangat dan teh dingin. Banyak orang yang tampak seperti kehilangan induk semang, kehilangan budaya sendiri. Barangkali mereka ingin menyerupai bangsa lain lalu melupakan budaya bangsa sendiri. Tapi bahkan akhirnya mereka tidak mendapat kedua-duanya. Bayangkan penampilannya: memakai jubah cantung, terompa kayu, peci putih, brewok, kulit sawo matang, postur tubuh petet, mata kecil, hidung pesek. Bingung, sketsa bangsa mana ini.  

Sungguh jauh ketimpangan ini. Di Indonesia jika kita melihat orang mengenakan jubah, terlihat sangat islami. Di sisi lain, jika kita memakai sarung di Mesir, layaknya orang Indonesia yang beragama Islam, ditertawakan. Saya kira jika Rosulullah, para Sahabat, serta para Ulama memakai jubah, ini hanya semata-mata karena mereka orang Arab, bukan karena mereka orang Islam. Jika beranggapan kedua-duanya, sama saja mengebiri budaya sendiri. Saya kira, orang Indonesia yang beragama Hindu lebih cerdas dan berani, bahkan mereka dapat beragama tanpa menghapus jejak budaya, mencintai budaya tanpa melepas keimanan.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar