Aku ingin merasakan Indonesia pada Idul Adha kali ini. Meski
kaki tidak berpijak di tanah surga
Indonesia, namun paling tidak bisa mengingatkan akan kampung halaman. Inisiatif beberapa teman Bu’ust
untuk membalut tubuh kami dengan busana
muslim Indonesia; paduan antara sarung dan batik. Cukup brilliant. Sangat
Indonesia. Sedikit harapan agar kerinduan akan Kampung Nan Jauh Di Mato dapat terobati.
Suatu fenomena wajar bagi mahasiswa kere berotak bebal seperti saya, merasa “cepat pulang” adalah
kata-kata di awang-awang, jauh. Jika sebagian mahasiswa kere berotak encer dapat menyelesaikan studi dengan cepat, cepat
pula bersua dengan kampung halaman. Tak jauh berbeda dengan mahasiswa berotak
bebal namun berdompet tebal, bisa lebih cepat lagi, bahkan berkali-kali pulang.
Nah saya, kedua nikmat itu terasa jauh. Kalau dipaksakan dengan bahasa halus
akan terdengar “belum diberikan”.
Aku lebih bersemangat kali ini, suara takbiran terdengar
lantang namun lurus. Tidak seperti lantunan takbir di Indonesia yang berirama
khas, di Mesir ternyata kumandang takbir hanya dibawakan datar, seperti air
sungai. Tidak ada lekukan-lekukan nada syahdu, membosankan kongkritnya. Namun
tidak mengurangi semangatku, karena hari ini Hari Raya. Hari besar Umat Islam.
Kalau di dunia anak-anak, hari ini identik dengan ‘pakaian baru’,
lain hal bagi remaja yang identik dengan hari “Jalan-Jalan”, orang tua
mengidentikkan hari ini dengan hari “silaturrohim”,
walaupun sebenarnya dalam prakteknya bisa saja tertukar bahkan akumulatif.
Misalnya, selain anak-anak, remaja dan orang dewasa juga pengen punya baju baru
saat lebaran, atau barangkali orang dewasa jalan-jalan dan remaja silaturrohim, atau bisa jadi orang dewasa saat lebaran mengenakan pakaian
baru, jalan-jalan dan silaturrohim.
Pagi ini kami akan Shalat ‘Ied di Masjid Ar-Rahman-Ar-Rahim nan
megah. Mengenakan sarung khas Indonesia
yang rapi plus batik dengan model dan warna yang beragam, kami menuju masjid
yang agak jauh dari asrama. Berjalan agak tergopoh-gopoh karena takut tak
kebagian tempat. Teman-teman se-asrama yang melihat kami berbusana seragam
tersenyum simpul. Mereka sudah paham, kami orang Indonesia, ini budaya kami.
Berbalik seratus delapan puluh derajat respon berubah setelah melewati gerbang
asrama. Beberapa orang Mesir yang melihat kami dari mobil tertawa, bahkan ada
yang terbahak-bahak. Respon negatrif ini bertalu-talu hingga kami memasuki
masjid. Masjid sudah hampir penuh, kami memasuki masjid, jama’ah menoleh kearah
kami. Sekali lagi tersenyum, anak-anak tertawa, bukan senyum menghargai, bukan
senyum kagum. Merasa aneh barangkali.
Sarung, di Indonesia dan di Mesir, kemungkinan Arab seluruhnya,
mempunyai dua arti yang jauh berbeda. Jika di Indonesia Sarung adalah busana Santri,
busana orang Alim, busana sopan yang dikenakan ketika Shalat, busana menghadap Tuhan.
Mayoritas pesantren di Indonesia, tradisional kah, modern kah,
mengenakan sarung ketika shalat. Kurang tau kalau pesantren impor.
Makna yang jauh berbeda jika sarung dikenakan orang Mesir. Mereka
memakai sarung hanya jika ingin “j***’”.
Lantaran budaya ini sudah mengakar dalam tempurung kepala mereka, lantas
jika melihat orang lain memakai sarung, tak peduli orang asing, mereka jadi
bernafsu, nafsu ingin menertawakan. Tak peduli barangkali ada makna berbeda
bagi orang lain. Sebuah ketimpangan. Maka wajarkah jika di Indonesia, orang memakai
Jubah dianggap orang Alim, Soleh, bahkan dianggap sakral. Selanjutnya jika
mengenakan jubah mencerminkan jiwa yang Soleh, lantas semua orang takdzim.
Walaupun jubah sudah jelas budaya Arab, namun karena Islam lahir
dan berkembang pada fase awal di tanah Arab, lantas semua yang berbau Arab juga
juga mengalami islamisasi. Ya jubah contohnya. Padahal jubah adalah budaya Arab,
pakaian tradisional. Saksikanlah anak-anak muda Mesir yang jauh dari sentuhan
modernisasi, sehari-hari mengenakan jubah bukan lantaran mereka soleh, tapi itu
pakaian mereka. Amu-amu dengan
seabreg profesi unik sebagai contoh tambahan.
Wajar jika di kalangan pemikir Islam progresif Indonesia bab arabisasi
islam banyak ditentang, ini tidak adil.
Perbedaan sarung dan jubah tidak tergolong sederhana, tidak
sesederhana masalah teh hangat dan teh dingin. Banyak orang yang tampak seperti
kehilangan induk semang, kehilangan budaya sendiri. Barangkali mereka ingin
menyerupai bangsa lain lalu melupakan budaya bangsa sendiri. Tapi bahkan
akhirnya mereka tidak mendapat kedua-duanya. Bayangkan penampilannya: memakai
jubah cantung, terompa kayu, peci putih, brewok,
kulit sawo matang, postur tubuh petet, mata kecil, hidung pesek. Bingung,
sketsa bangsa mana ini.
Sungguh jauh ketimpangan ini. Di Indonesia jika kita melihat
orang mengenakan jubah, terlihat sangat islami. Di sisi lain, jika kita memakai
sarung di Mesir, layaknya orang Indonesia yang beragama Islam, ditertawakan.
Saya kira jika Rosulullah, para Sahabat, serta para Ulama memakai jubah, ini
hanya semata-mata karena mereka orang Arab, bukan karena mereka orang Islam.
Jika beranggapan kedua-duanya, sama saja mengebiri budaya sendiri. Saya kira,
orang Indonesia yang beragama Hindu lebih cerdas dan berani, bahkan mereka
dapat beragama tanpa menghapus jejak budaya, mencintai budaya tanpa melepas
keimanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar