Aku sudah terjerumus
dalam lumpur kejumudan, menikmati irama kematian bakat, padahal sudah bersusah
payah kuasah sedari remaja. Pena yang biasa kugunakan sebagai samurai untuk merenggut hati pujaan kehabisan tinta.
Padahal ada banyak jejak langkah bahkan air mata dan tawa belum kuabadikan
dalam ukiran kata. Aku mati suri, oh Tuhan hidupkan aku kembali..
Beberapa hari yang lalu aku menyodorkan sebuah tulisan lepas
yang berserakan di Note Facebook kepada seorang teman di Jakarta. Setelah
membaca satu judul note kemudian dia komentar, tapi bukan komentar di note
melainkan di kotak masuk. “Jujur, saya
kira tulisan kamu sewaktu aliyah lebih bagus, ber.!”Saya shok mendengar
komentarnya dan terbangun dari tidur panjang secara tiba-tiba. Sadar
ketertinggalan dari teman-teman yang lain, sadar justru karena saya sedang
melangkah kebelakang, bukan seperti orang kebanyakan melangkah kedepan. Di saat
tulisan teman-teman seangkatan sudah mulai dibaca khalayak melalui Media
Nasional seabreg Harian Pagi, Bulletin, Majalah Bulanan dan sebagainya. Tulisan
merekapun beragam. Mulai dari Essay, Opini, Cerita Pendek bahkan Puisi. Di waktu
yang sama, teman seangkatan mereka yang berada nun di seberang lautan, sedang
belajar di tempat sekian banyak ulama besar lahir dan berkembang, tempat lahir
para Nabi, tempat Risalah diturunkan dan disebarkan, Allah sang maha suci nan
luhur pernah berfirman mengenai tempat ini, “Masuklah Mesir niscaya segala yang kamu butuhkan akan kamu dapati”.
Tapi sayang, teman mereka yang orang udik itu, malah sibuk menghangatkan diri
di musim dingin dan mendinginkan diri di musim panas. Celakanya ia bersemayam di
tempat yang sama, yang di Indonesia pun dengan mudah didapat tanpa harus
berkelana ke Luar Negeri, yaitu kasur. Alhasil, tulisan yang ia telurkan tak
lebih dari coretan kasar yang menggelikan. Ditinjau dari disiplin apapun, jauh
dari kata mumpuni. Apalagi jika dipaksakan bersaing.
Sewaktu masih duduk di sekolah menengah, teman-teman punya
anekdot yang menurut saya mencerahkan; “membaca buku ibarat makan, sedangkan menulis
adalah buang air”, artinya, dapat dikatakan sehat jika makan dan buang air
teratur. Andai kata makan terus-menerus tapi sebaliknya tidak buang air, dapat
dipastikan ide-ide yang tak tersalurkan berserakan menunggu untuk keluar.
Begitupun jika buang air terus menerus tanpa makan yang teratur, tidak jauh
berbeda dari terserang diare, ide yang dikeluarkan jauh dari kata mumpuni.
Menginjak tahun ke dua di Kairo, saya menyadari rasa lapar
itu, lapar terhadap bacaan berbahasa Indonesia. Tidak sulit sbenarnya menemukan
bacaan Indonesia, bisa dengan mudah ditemukan situs online. Tapi kisana tau
sendiri jika online sulit sekali membaca selain status dan komentar. Serba
salah jadinya, bacaan Indonesia sudah lama ditinggalkan sebaliknya bacaan Arab belum
juga tersentuh. Tapi sebenarnya kalaupun kebiasaan membaca arab sudah ada,
bacaan Indonesia masih sangat penting untuk teman yang biasa menulis. Sebab
kebiasaan mahasiswa di kairo adalah mengadakan diskusi-diskusi, forum ilmiyah,
kelompok menulis dan banyak lagi, di perkumpulan ini lebih banyak menggunakan
bahasa Indonesia sebagai media komunikasi utama, terutama dalam tulisan. Sangat
sedikit mahasiswa yang menulis dengan bahasa arab dan inggris. Hal ini lebih
disebabkan keterikatan kuat dengan tanah air. Barangkali jika mau bersombong
ria, mahasiswa Indonesia di Kairo lebih dominan dalam tulisan dibanding
mahasiswa Indonesia di seantero Timur Tengah lainnya. Tidak bermaksud
meremehkan daya saing mahasiswa timur tengah non Kairo, mereka tentu memiliki kualifikasi
lain yang tidak dimiliki mahasiswa Kairo. Namun paling tidak, suatu
kegembiraan, bahwa mahasiswa kairo akan tampil mewakili lainnya dalam bidang
ini, ditengah pesatnya pesimistis alumni eropa melihat daya saing alumni timur
tengah. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa alumni Timur-Tengah lebih banyak
berperan sebagai guru kampungan disbanding alumni eropa yang mengendalikan
masyarakat perkotaan. Walaupun isu ini tidak menjadi tolak ukur kualitas
masing-masing.
Untuk melahirkan tulisan fiksi maupun non fiksi berbahasa
Indonesia, tentu menuntut saya untuk membaca banyak karya berbahasa Indonesia
lebih banyak. Sebab bacaan, walaupun tidak banyak menentukan bobot tulisan
secara isi, namun akan berpengaruh besar terhadap gaya bahasa. Ilmu apa saja
dari bahasa apapun akan sulit ditranspormasikan kedalam bahasa ibu jika penulis
belum menguasai bahasa ibu dengan baik dan benar. Dalam menulis, kaidah ilmiyah
ataupun teori jurnalistik memang menentukan bobot dan kelayakan sebuah karya
tulis apapun. Namun disadari maupun tidak, gaya bahasa penulis tak kalah
memberikan kesan dan daya tarik tersendiri sehingga kemungkinan pembaca akan
terkesan sangat terbuka luas.
Seringkali saya menyadari, bahwa cara saya berdiskusi, atau
gaya bahasa tulisan saya akan terus mati suri hingga saya membaca banyak tulisan
bahasa Indonesia. Tidak sedikit saya mengenal pelajar maupun guru yang lebih
dari kata mumpuni dalam ilmu agama, tapi tak henti-hentinya mencaci tulisan
kaum liberal di media massa top dalam negeri sedangkan dia tak sekalipun
menulis untuk media massa, jikapun pernah mengirimkan tapi toh tak pernah dimuat,
jikapun pernah dimuat, itupun media kacangan yang tidak memenuhi kualifikasi
sebagai media top. Akhirnya hanya mengoceh dengan mengeluarkan hafalan karya
ulama salaf yang ia kuasai di beranda facebook. Biasanya manusia seperti ini
termasuk dalam spesies kampungan yang hanya melakukan kodivikasi pemahaman
ulama salaf tanpa sedikitpun berusaha untuk mengevaluasi, lalu menghindarkan
diri sejauh mungkin dari sikap kritis. selanjutnya mencaci siapa saja yang
berusaha menganalisa kembali pemikiran ulama salaf dengan tuduhan menuhankan
akal dan sebagainya.
Menguasai gaya penuturan dan tulisan dengan bahasa ibu adalah
suatu keharusan, sebab sejauh apapun saya berkelana, saya senantiasa mengemban
tanggung jawab untuk mencerdaskan bangsa. Kitab berbahasa arab cukuplah menjadi
referensi. Walaupun kemungkinan saya akan menulis dalam bahasa arab tidak
tertutup.
Kesimpulannya, membaca tapi tidak menulis adalah kerugian
besar, menulis tapi tidak membaca adalah paradoks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar