Rabu, 01 Februari 2012

Membaca Dan Menulis: Makan Dan Buang Air


Aku sudah terjerumus dalam lumpur kejumudan, menikmati irama kematian bakat, padahal sudah bersusah payah kuasah sedari remaja. Pena yang biasa kugunakan sebagai samurai  untuk merenggut hati pujaan kehabisan tinta. Padahal ada banyak jejak langkah bahkan air mata dan tawa belum kuabadikan dalam ukiran kata. Aku mati suri, oh Tuhan hidupkan aku kembali..

Beberapa hari yang lalu aku menyodorkan sebuah tulisan lepas yang berserakan di Note Facebook kepada seorang teman di Jakarta. Setelah membaca satu judul note kemudian dia komentar, tapi bukan komentar di note melainkan di kotak masuk. “Jujur, saya kira tulisan kamu sewaktu aliyah lebih bagus, ber.!”Saya shok mendengar komentarnya dan terbangun dari tidur panjang secara tiba-tiba. Sadar ketertinggalan dari teman-teman yang lain, sadar justru karena saya sedang melangkah kebelakang, bukan seperti orang kebanyakan melangkah kedepan. Di saat tulisan teman-teman seangkatan sudah mulai dibaca khalayak melalui Media Nasional seabreg Harian Pagi, Bulletin, Majalah Bulanan dan sebagainya. Tulisan merekapun beragam. Mulai dari Essay, Opini, Cerita Pendek bahkan Puisi. Di waktu yang sama, teman seangkatan mereka yang berada nun di seberang lautan, sedang belajar di tempat sekian banyak ulama besar lahir dan berkembang, tempat lahir para Nabi, tempat Risalah diturunkan dan disebarkan, Allah sang maha suci nan luhur pernah berfirman mengenai tempat ini, “Masuklah Mesir niscaya segala yang kamu butuhkan akan kamu dapati”. Tapi sayang, teman mereka yang orang udik itu, malah sibuk menghangatkan diri di musim dingin dan mendinginkan diri di musim panas. Celakanya ia bersemayam di tempat yang sama, yang di Indonesia pun dengan mudah didapat tanpa harus berkelana ke Luar Negeri, yaitu kasur. Alhasil, tulisan yang ia telurkan tak lebih dari coretan kasar yang menggelikan. Ditinjau dari disiplin apapun, jauh dari kata mumpuni. Apalagi jika dipaksakan bersaing.

Sewaktu masih duduk di sekolah menengah, teman-teman punya anekdot yang menurut saya mencerahkan; “membaca buku ibarat makan, sedangkan menulis adalah buang air”, artinya, dapat dikatakan sehat jika makan dan buang air teratur. Andai kata makan terus-menerus tapi sebaliknya tidak buang air, dapat dipastikan ide-ide yang tak tersalurkan berserakan menunggu untuk keluar. Begitupun jika buang air terus menerus tanpa makan yang teratur, tidak jauh berbeda dari terserang diare, ide yang dikeluarkan jauh dari kata mumpuni.

Menginjak tahun ke dua di Kairo, saya menyadari rasa lapar itu, lapar terhadap bacaan berbahasa Indonesia. Tidak sulit sbenarnya menemukan bacaan Indonesia, bisa dengan mudah ditemukan situs online. Tapi kisana tau sendiri jika online sulit sekali membaca selain status dan komentar. Serba salah jadinya, bacaan Indonesia sudah lama ditinggalkan sebaliknya bacaan Arab belum juga tersentuh. Tapi sebenarnya kalaupun kebiasaan membaca arab sudah ada, bacaan Indonesia masih sangat penting untuk teman yang biasa menulis. Sebab kebiasaan mahasiswa di kairo adalah mengadakan diskusi-diskusi, forum ilmiyah, kelompok menulis dan banyak lagi, di perkumpulan ini lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia sebagai media komunikasi utama, terutama dalam tulisan. Sangat sedikit mahasiswa yang menulis dengan bahasa arab dan inggris. Hal ini lebih disebabkan keterikatan kuat dengan tanah air. Barangkali jika mau bersombong ria, mahasiswa Indonesia di Kairo lebih dominan dalam tulisan dibanding mahasiswa Indonesia di seantero Timur Tengah lainnya. Tidak bermaksud meremehkan daya saing mahasiswa timur tengah non Kairo, mereka tentu memiliki kualifikasi lain yang tidak dimiliki mahasiswa Kairo. Namun paling tidak, suatu kegembiraan, bahwa mahasiswa kairo akan tampil mewakili lainnya dalam bidang ini, ditengah pesatnya pesimistis alumni eropa melihat daya saing alumni timur tengah. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa alumni Timur-Tengah lebih banyak berperan sebagai guru kampungan disbanding alumni eropa yang mengendalikan masyarakat perkotaan. Walaupun isu ini tidak menjadi tolak ukur kualitas masing-masing.

Untuk melahirkan tulisan fiksi maupun non fiksi berbahasa Indonesia, tentu menuntut saya untuk membaca banyak karya berbahasa Indonesia lebih banyak. Sebab bacaan, walaupun tidak banyak menentukan bobot tulisan secara isi, namun akan berpengaruh besar terhadap gaya bahasa. Ilmu apa saja dari bahasa apapun akan sulit ditranspormasikan kedalam bahasa ibu jika penulis belum menguasai bahasa ibu dengan baik dan benar. Dalam menulis, kaidah ilmiyah ataupun teori jurnalistik memang menentukan bobot dan kelayakan sebuah karya tulis apapun. Namun disadari maupun tidak, gaya bahasa penulis tak kalah memberikan kesan dan daya tarik tersendiri sehingga kemungkinan pembaca akan terkesan sangat terbuka luas.

Seringkali saya menyadari, bahwa cara saya berdiskusi, atau gaya bahasa tulisan saya akan terus mati suri hingga saya membaca banyak tulisan bahasa Indonesia. Tidak sedikit saya mengenal pelajar maupun guru yang lebih dari kata mumpuni dalam ilmu agama, tapi tak henti-hentinya mencaci tulisan kaum liberal di media massa top dalam negeri sedangkan dia tak sekalipun menulis untuk media massa, jikapun pernah mengirimkan tapi toh tak pernah dimuat, jikapun pernah dimuat, itupun media kacangan yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai media top. Akhirnya hanya mengoceh dengan mengeluarkan hafalan karya ulama salaf yang ia kuasai di beranda facebook. Biasanya manusia seperti ini termasuk dalam spesies kampungan yang hanya melakukan kodivikasi pemahaman ulama salaf tanpa sedikitpun berusaha untuk mengevaluasi, lalu menghindarkan diri sejauh mungkin dari sikap kritis. selanjutnya mencaci siapa saja yang berusaha menganalisa kembali pemikiran ulama salaf dengan tuduhan menuhankan akal dan sebagainya.

Menguasai gaya penuturan dan tulisan dengan bahasa ibu adalah suatu keharusan, sebab sejauh apapun saya berkelana, saya senantiasa mengemban tanggung jawab untuk mencerdaskan bangsa. Kitab berbahasa arab cukuplah menjadi referensi. Walaupun kemungkinan saya akan menulis dalam bahasa arab tidak tertutup.

Kesimpulannya, membaca tapi tidak menulis adalah kerugian besar, menulis tapi tidak membaca adalah paradoks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar