Jumat, 20 Januari 2012

Wacana Negara Islam; Fakta sejarah dan tantangan kontemporer


 
Prolog

Tepat pada tanggal 3 maret 1924 Khilafah Islamiyah dihapuskan oleh konstitusi Turki. Sejak saat itu sampai sekarang dapat dikatakan hanya Iran yang menganut sistem Negara Islam secara konstitusi. Walaupun banyak Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun secara konstitusi menganut sistem monarki atau republik. Apa sebenarnya yang ditakutkan dengan sistem Khilafah Islamiyah? Apakah wacana Negara Islam tidak lagi relevan saat ini? Bukankah Islam itu menebar kasih sayang untuk semua manusia. Bahkan Islam relevan sepanjang waktu dan tempat?

Arab Saudi, adalah titik temu semua umat Islam dari seluruh dunia dalam ibadah haji. negara ini juga titik awal kelahiran dan perkembangan Islam. Nyatanya Negara ini menganut sistem Monarki dalam praktek kenegaraan. Mengapa Negara yang menjadi kiblat bagi seluruh umat Islam dunia ini tidak tertarik untuk mendirikan Negara Islam. Apakah Islam memang tidak mengatur tata pemerintahan? Jelas Islam memperhatikan segala aspek kehidupan secara lengkap dan global, tak terkecuali politik dan pemerintahan. dalam Al-Quran banyak kita temukan ayat yang secara vulgar membeberkan disiplin kenegaraan. Satu contoh dalam surah An-Nisa’ ayat 59.

Memang saat ini dalam praktek pemerintahan, Negara-Negara Muslim banyak menganut sistem demokrasi. Sebut saja Mesir, Indonesia, Turki, Yaman, Tunisia dan lainnya. Walaupun demikian, banyak kalangan yang meragukan relevansi Islam dengan demokrasi. Ketika suatu Negara terlibat dalam demokrasi otomatis banyak problema yang akan menyusul. Sebut saja HAM, sistem multi Partai, kesetaraan gender bahkan kebebasan berekspresi, berpikir dan berpendapat. Maka Samuel Huntington dalam Benturan Peradaban mengatakan, bahwa Negara muslim tidak akrab dengan demokrasi. Maka pertanyaan awal apakah Islam tidak mengandung nilai-nilai demokrasi. Apakah benar dengungan persepsi barat bahwa Islam tidak relevan dengan HAM, Islam tidak mengusung kesetaraan gender? Apakah seabrek problema ini yang ditakutkan banyak Negara muslim untuk menjadikan syari’at Islam sebagai acuan dalam sistem kenegaraan?

Sample Negara Islam Dulu Dan Kini

Kegagalan berdakwah selama 13 tahun di tanah kelahiran beliau, Makkah, menginspirasi Rosulullah untuk melebarkan sayap dakwah di lain tempat. Selain itu, perjalan dakwah di Makkah terlalu mengkhawatirkan bagi Rosulullah dan Ashabiqunal Awwalun. Tujuan dakwah selanjutnya adalah sebuah kota yang bernama Yastrib. Tak disangka sebuah kota yang dihuni oleh masyarakat multi kultur dan multi agama ini menerima kedatangan Rosulullah dan para sahabat dengan gegap gempita. Mengejutkan justru karena Rosulullah dan para sahabat tergolong asing di kota ini. Beliau tidak mempunyai sanak famili, Malah menerima Rosulullah dengan senang hati laksana menerima seorang pemimpin besar. Padahal waktu itu penduduk Yastrib belum mengenal banyak eksistensi Muhammad sebagai Nabi Allah. Pemandangan kontras justru terjadi di Makkah, kota dimana Nabi dilahirkan justru menjadi ancaman serius bagi dakwah Nabi. Bahkan ancaman itu datang dari kerabat beliau sendiri.

Di Madina Nabi mulai menyusun strategi dakwah, sekaligus menata Madinah sedemikian rupa. Sehingga kehidupan Madinah menjadi lebih tertata, maju, dan beradab. Sebagaimana nama yang disematkan Nabi, Madinah, kota yang berkeadaban. (Prof. Dr. Komaruddin Hidayat)

Madinah masa Nabi adalah miniatur negara modern, dimana didalamnya hidup masyarakat yang multi kultur, multi suku, bahkan multi agama. Tapi bersatu padu membangun peradaban di bawah satu Qonun, yaitu Islam yang dikomandoi oleh Nabi. undang-undang kehidupan madani tersebut tersusun dalam suatu Piagam Madinah. Robert N.Bellah (1972) mengatakan, Madinah merupakan salah satu bentuk pemerintahan modern yang melandaskan konstitusinya pada nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi. Piagam Madinah merupakan salah satu pencapaian pemerintahan Nabi yang paling spektakuler, karena mampu membangun konstitusi atau konsensus yang berlandaskan kebhinekaan kelompok, baik suku maupun agama.

Maka banyak orang menilai masyarakat Madinah pada zaman Nabi, sebagai masyarakat yang terlalu modern untuk zaman itu. Hal ini tentu tidak berlebihan. Mengingat Nabi dapat menciptakan kehidupan yang begitu dinamis di tengah masyarakat yang majemuk. Di lain sisi, kehidupan kemasyarakatan Makkah adalah kehidupan yang masih tergolong jahiliyah. Kehidupan yang mengedepankan kekerasan dalam memecahkan masalah, kepemimpinan yang berlandaskan nasab.

Dari sini dapat kita lihat Madinah sebagai sampel Negara modern, majemuk multi suku dan kultur menjalankan sistem tatanan masyarakan dan Negara berdasarkan syari’at Islam. Sayangnya hal ini terjadi 14 abad yang lalu. Banyak kalangan dari berbagai Negara tak terkecuali Islam memuji keberhasilan Rosulullah dengan Piagam Madinah. Namun tidak jua beranjak untuk melakukan hal yang sama, bahkan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam sekalipun.

Setelah kita melihat kegemilangan sejarah, tentang Negara modern Madinah dan sebuah undang undang spektakuler Piagam Madinah, sekarang kita menyaksikan Negara yang juga meletakkan asas Islam dalam mengelola sistem kemasyarakatan dan kenegaraan. Dapat dikatakan hanya Iran yang masuk dalam kategori ini. Berhubung Negara yang berpenduduk mayoritas muslim lainnya menganut sistem Demokrasi dan Mamlakah. Walaupun dalam prakteknya kedua sistem ini banyak mengecewakan mayoritas penduduknya. Bahkan tidak jarang hanya melahirkan para pemimpin yang zalim. Terbukti dari banyak Negara arab berpenduduk muslim, sebut saja mesir, Tunisia, libiya, yaman dan beberapa Negara berpenduduk muslim lainnya.

Revolusi Iran menumbangkan kekuasaan tirani Reza Pahlevi terjadi pada tahun 1970. saat imam Ayatullah Khomeini merasa berkewajiban untuk mendengungkan seruan  kembali pada Islam, bahkan dalam tatanan politik dan pemerintahan. Karena pemerintahan pada waktu itu dinilai sudah tidak berada dalam asas-asas Islam. Lalu Khomeini mencanangkan tanggung jawab ulama dalam politik dan pemerintahan, dalam bentuk struktur terlembagakan yang harus diserahi kepercayaan kepemimpinan Negara. Usaha inipun akhirnya membuahkan hasil. Rezim Pahlevi tumbang. Berdirilah Republik Islam Iran.

Sejak saat itu sampai sekarang iran masih konsisten dengan Negara berasaskan Islam, republik Islam iran.

Untuk konsisten berpegang teguh pada asas Islam, khususnya Iran, bukan tanpa tantangan dan rintangan. Mayoritas Negara yang tidak senang dengan Islam menilai Iran sebagai Negara fundamental bahkan tertutup. akibatnya Amerika Serikat mengajak para sekutunya supaya hubungan perdagangan dengan iran dibekukan, artinya baikot ekonomi. Namun ternyata gertakan Negara yang dianggap paman oleh Indonesia ini tidak begitu saja menyurutkan semangat Iran untuk berteduh di bawah naungan syari’at Islam. Bahkan tahun lalu Iran sukses melaksanakan pemilu dengan semangat dan asas yang sama. Maka untuk sementara, Iran adalah sample Negara Islam kontemporer.

Wacana syari’at Islam di Indonesia

Wacana untuk mendirikan Negara yang beasaskan Islam di Indonesia sudah terdengar sejak pasca kemerdekaan. Dan ini terjadi di banyak daerah dengan mengusung Negara Islam Indonesia (NII). Namun kemudian organisasi ini dianggap terlarang karena dianggap ingin merubah asas tunggal Pancasila sebelum kemudian ditumpas. Organisasi ini berlanjut hingga tahun 1997 bahkan baru baru ini kembali terdengar dengan label berbeda yaitu menerapkan syari’at Islam di Indonesia dengan mengembalikan 7 kata dalam piagam Jakarta yang dihapus (dengan menjalankan syari’at Islam bagi semua pemeluknya). Walaupun gagasan untuk merubah Indonesia yang dipandang banyak kalangan fundamental sebagai Negara sekuler, namun menurut Prof. Azyumardi Azra gagasan untuk menuju ke sana dipandang tidak populer. Wacana Negara Islam tidak menjadi begitu naik ke permukaan justru karena organisasi besar di Indonesia tidak bergeming soal ini. Nahdhotul Ulama dan Muhamadiyah yang mempunyai pengaruh lebih besar di Indonesia ternyata tidak bergeming dengan wacana Negara Islam, untuk tidak mengatakan tidak begitu tertarik.

Belakangan wacana untuk menerapkan syari’at Islam di Indonesia di kemukakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) lalu menimbulkan perdebatan serius di tubuh umat Islam sendiri, sebelum kemudia wacana itu ternggelam ditelan waktu.

Kesalahan Persepsi

Ada beberapa problema sosial yang untuk sementara dianggap tidak relevan dengan Islam, kemudian ditakutkan juga tidak dapat diterima oleh masyarakat jika menganut asas Islam. Masalah ini kemudian menjadi momok bagi kebanyakan orang barat belakangan ini, bahkan Islam abangan. Sebut saja masalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan kesetaraan gender. Kedua masalah ini belakangan banyak diperbincangkan, baik dalam kuliah, seminar maupun media cetak dan elektronik. Celakanya, beberapa diskursus ini sampai pada kesimpulan, terutama pemikir barat, bahwa Islam tidak relevan dengan kedua tema di atas.

Orang barat menganggap dengan bangga bahwa kebebasan di wilayah mereka adalah mutlak. Mutlak dapat diartikan tidak ada batasan. Padahal kalau mau realistis, hampir tidak ada kebebasan mutlak di dunia ini. Mereka membanggakan Negara mereka yang maju karena menjunjung tinggi kebebasan lalu merendahkan Islam karena terletak banyak batasan dalam berfikir dan bermuamalah. Padahal dalam kehidupan komunis sekalipun tidak ada kebebasan mutlak. Pasti ada batasan-batasan tertentu. Dalam Islam pergaulan dibatasi oleh syari’at, dan tentu ada batasan yang tidak boleh disentuh. Kebebasan dalam semua aspek, tentu tidak mutlak, karena kebebasan kita dibatasi oleh hak orang lain. Jangan sampai dengan kebebasan kita dalam bertindak mengganggu hak orang lain. Begitu juga dalam berfikir, di barat sendiri sebenarnya tidak ada kebebasan mutlak dalam berfikir. Contoh dipenjarakannya seorang sejarahwan yang dalam penelitian sejarahnya berpendapat berbeda dengan sejarahwan lain mengenai peristiwa Hohocaust. (DR. Imad Hosen Muhammad, direktur Islamonline.com kantor perwakilan Kairo) begitupun dalam Islam, tentu ada hal-hal mutlak yang tidak boleh disentuh. Banyaknya batasan beralasan tentu saja karena kita orang Islam percaya bahwa kehidupan bukan hanya di dunia ini saja. Banyak hal yang akan kita pertanggung jawabkan di akhirat kelak.

Adanya wacana kebebasan yang begitu tampak di permukaan akhir-akhir ini jelas menandakan bahwa, minimnya legitimasi konstitusi keagamaan di wilayah non Islam. Khususnya di daerah yang didominasi kalangan Kristen. Hal ini dapat dengan jelas kita saksikan dalam film-film yang tak segan menampilkan adegan perkelahian bahkan asusila di rumah ibadah. Hal yang sama tidak pernah kita temukan dalam komunitas muslim.

Selain wacana kebebasa berfikir dan berekspresi, ada satu problema yang muncul akhir-akhir ini. Tak ketinggalan, masalah ini juga dinilai tidak relevan dengan nilai-nilai Islam. Kesetaraan gender menjadi isu hanyat belakangan ini. Sebenarnya isu ini sudah tampak di permukaan sejak 1976 dengan disetujuinya kesepakatan ASSIDOWI. Terdapat 16 butir permasalahan yang menuntut persamaan hak mutlak perempuan atas laki-laki dalam assidowi, baik persamaan dalam ruang lingkup sosial, kemanusiaan,pendidikan, maupun lapangan kerja. Dan ternyata, kalangan barat menganggap masalah ini kontradiktif dengan kehidupan masyarakat Muslim. Banyak kalangan, khususnya barat menganggap Islam kurang menjunjung tinggi hak perempuan, sebaliknya merendahkan kaum perempuan.

Persepsi miring di atas diambil tentu saja disebabkan minimnya pemahaman mereka tentang Islam. Mereka hanya tau kulit luar saja. Celakanya langsung melekatkan stempel negatif tentang islam. Menurut Prof. Dr. Su’ad Ibrahim Soleh, MA. (dekan fakultas Dirosah Islamiyah, Al-Azhar) kesetaraan dalam arti luas adalah saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan. Karena laki-laki dan perempuan diciptakan Allah dengan kelebihan masing masing. Antara satu dengan yang lain tidak memiliki sifat yang sama. Jadi sifat persamaan di sini bukan dalam arti mutlak, namun dalam arti yang lebih luas, yaitu saling melengkapi.

Permasalahan persamaan gender sebenarnya tidak perlu ada kontradiksi seperti yang ramai diperbincangkan di barat. Sebab laki-laki dan perempuan diciptakan Allah dengan peranan masing-masing. Bahkan sejak lahir pun laki-laki dan permpuan sudah terletak banyak perbedaan yang alami. Semisal perempuan memiliki karakter lemah lembut dan penyayang. Sebab berkaitan erat dengan peran yang akan ia jalani sebagai seorang ibu. Begitu juga laki-laki yang keras justru karena peran yang akan dijalani adalah mencari nafkah dan melindungi keluarga. Tidak ada masalah yang perlu diperdebatkan sebenarnya dalam masalah ini. Adapun ayat Al-Qur’an yang berbunyi “Ar Rijalu Qowamuna ‘Alan An-Nisa’ “ harus diselaraskan ayat berikutnya yang berbunyi “ Walahunna Mitslu Al-Ladzi ‘Alaihinna Bi Al’ma’ruf”

Sudah sepantasnya kita mengubur dalam-dalam persepsi untuk menyetarakan antara laki-laki dan perempuan. Sebab jika dipaksakan malah akan menimbulkan masalah yang lebih rumit. Bagaimana mungkin salah satu dari kedua jenis ini menjalani suatu profesi yang sebenarnya di luar kemampuan mereka.

Penutup

Akhir-akhir ini terjadi suatu fenomena yang sebelumnya tidak terduga, yaitu pecahnya revolusi di banyak Negara Timur Tengah yang berpenduduk mayoritas Muslim. Dari revolusi ini ada pertanyaan besar diantara sekian banyak prasangka tentang masa depan Negara-Negara tersebut. Pertanyaan tersebut sebenarnya tidak begitu asing, yaitu adakah yang tertarik untuk mengikrarkan diri menjadi Negara Islam?. Mengingat daerah yang baru saja berhasil mengibarkan bendera revolusi ini berpenduduk mayoritas Muslim.

Selain seabrek masalah yang akan dihadapi Negara muslim di atas, sebenarnya masih banyak masalah lain yang akan menyusul. Jika suatu Negara mengikrarkan menjadi Negara muslim otomatis wilayah tersebut harus disterilkan dari prostitusi, perjudian, minuman keras dan sebagainya. Celakanya, aset haram diatas menghasilkan tidak sedikit pendapatan Negara. Akan banyak pendapatan yang hilang jika Negara disterilkan dari perkara haram tersebut.

Itulah alasannya, jika dilihat lebih jauh, kita akan dirasuki perasaan pesimis Indonesia akan menjadi Negara Islam. Atau minimal menerapkan syari’at islam. Sebab tak dapat dikatakan sedikit pendapatan Negara dari prostitusi di Batam, Jakarta, Surabaya, Bali sampai Manado. Belum lagi masalah judi, muniman keras. Mungkin itulah alasan banyak kalangan menghalang-halangi terjadinya “Revolusi Syari’at” di Indonesia. Di sisi lain, sebagai Negara Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai syari’at, Iran masih beridri tegak sebagai Negara yang berdaulat. Meskipun tantangan dan rintangan datang silih berganti. Kemungkinan besar, hal inilah yang perlu untuk kita pelajari. Wallahu ‘a’lam..




  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar